Kupang (ANTARA) - Antropolog dari Universitas Widya Mandiri (Unwira) Pater Gregorius Neonbasu, SVD mengimbau pihak gereja di Sumba, baik gereja Katolik dan Protestan untuk membuka dialog budaya dengan pihak Marapu dalam hal ini para rato sebagai sesepuh masyarakat setempat terkait dengan praktik "kawin tangkap" .
"Untuk masalah ini hemat saya gereja Katolik dan Protestan harus duduk bersama dengan para rato atau sesepuh adat di daerah itu untuk berdialog bersama terkait hal kawin tangkap itu," katanya.
Baca juga: Komnas Perempuan sebut kawin tangkap di Sumba tindakan kekerasan perempuan
Sebab menurut dia strategi yang paling manusiawi dan berbudaya adalah membangun sebuah cara pandang pelayanan terpadu antar berbagai institusi, baik itu gereja, pemerintah, dan masyarakat secara bersama-sama.
Menjaring cara pandang itu ujar rohaniwan Katolik itu, diawali dengan menyamakan persepsi serta menghindari sikap serta perasaan superioritas, dan perilaku mau menang sendiri serta saling mendengar dengan sikap tulus ikhlas.
Ia menceritakan pernah berdiskusi dengan para rato dari Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, kemudian juga dengan Pastor Robert Ramone CSsR yang juga budayawan dan pakar di Sumba, yang kini menghuni dan merawat rumah budaya Sumba di Tambolaka.
"Pada tahun 2015-2016 itu saya mendapatkan banyak keluhan yang sangat signifikan dari para rato bahwa tradisi, adat dan budaya tata krama kehidupan manusia dan masyarakat Sumba kini sepertinya terobrak-abrik," ujar dia.
Hal ini berakibat pada selalu muncul seribu satu persoalan hidup bersama, antara lain munculnya kawin tangkap yang mana di setiap kabupaten di Sumba itu mempunyai sebutan yang berbeda-beda.
Baca juga: Ketua DPRD NTT: Praktik kawin tangkap di Sumba harus dihentikan
Oleh karena itu Gregorius yang juga seorang akademisi itu menilai bahwa baik pemerintah, maupun gereja yang mewakili institusi agama, dan juga agama dan kepercayaan lain, hendaknya dengan rendah hati menjaring kerja sama dengan para rato.
Jejaring sosial dan kerja sama yang dialogis ini diharapkan dapat menemukan akar persoalan sampai terjadinya kawin tangkap yang masih terjadi di beberapa wilayah di pulau Sumba itu, katanya.
"Selama ini menurut saya, belum ada usaha yang serius untuk mencari akar persoalan, dan terlebih seberapa jauh sesepuh masyarakat Sumba mencari jalan yang konsisten untuk mengatasi persoalan tersebut," tutur dia.
Walau demikian, ia meyakini dan percaya, kini manusia dan masyarakat Sumba sedang berupaya untuk mencari cara dan pola yang baik guna sesegera mungkin menangani sampai tuntas praktik kawin tangkap itu.
Dinamika pembangunan Sumba harus melibatkan para rato, tokoh-tokoh agama dan sesepuh masyarakat lainnya, dalam rangka menanggapi berbagai persoalan yang ada di seluruh kawasan Pulau Sumba, tambahnya.
Menurut dia skema kerja sama yang harus diterapkan adalah menjaring sebuah pendekatan kultural yang dimaksudkan adalah pihak gereja harus memulai "dialog yang dialogis" serta membuka pintu budaya untuk menjaring relasi dengan para rato
Baca juga: Antropolog sebut kawin tangkap di Sumba hanyalah tindakan pragmatis
"Ada istilah dalam Bahasa Latin sebagai berikut: UBI SOCIETAS, IBI IUS yang berarti di mana ada masyarakat, di sana ada aturan. Masyarakat Sumba memiliki sedemikian banyak aturan sebagai panduan dan pedoman bagi manusia dan masyarakat yang mendiami Pulau tersebut," tutur dia.
Ia pun mengharapkan agar dialog soal praktik kawin tangkap itu hendaknya menggunakan berbagai aturan yang bernuansa "kultur Sumba" untuk mengkaji serta menangkal merembesnya praktek kawin tangkap itu sendiri.
Gereja perlu dialog dengan para rato di Sumba soal kawin tangkap
Untuk masalah ini hemat saya gereja Katolik dan Protestan harus duduk bersama dengan para rato atau sesepuh adat di daerah itu untuk berdialog bersama terkait hal kawin tangkap itu