Lebaran Ketupat Belum Ditradisikan Di NTT
Berbeda di tempat lain seperti di Gorontalo, Lebaran Ketupat sudah mentradisi bahkan bukan hanya menjadi milik masyarakat keturunan Jawa-Tondano (Jaton), Sulawesi Utara saja, tetapi sudah menjadi budaya Gorontalo.
Kupang, (AntaraNTT) -Lebaran Ketupat yang dirayakan pada H+7 Idul Fitri belum ditradisikan di Nusa Tenggara Timur, seperti daerah lain di Indonesia, kata Sekretaris Perayaan Hari-Hari Besar Agama Islam (PHBAI) H Hudaya Nur.
"Berbeda di tempat lain seperti di Gorontalo, Lebaran Ketupat sudah mentradisi bahkan bukan hanya menjadi milik masyarakat keturunan Jawa-Tondano (Jaton), Sulawesi Utara saja, tetapi sudah menjadi budaya Gorontalo," katanya di Kupang Sabtu malam.
"Biasanya menjelang hari "H" Lebaran Ketobat yaitu H+7 pascaLebaran warga setempat mulai memproduksi kue khas dodol "Jawa Tondano" (Jaton).
Namun pantauan pada Sabtu, hampir sebagian besar rumah di daerah setempat tidak ada aktivitas seperti memasak dodol jaton yang akan diberikan kepada tamu yang datang berkunjung ke rumah maupun tetangga.
Seperti yang dilakukan warga Muslim di Gorontalo dan daerah lainnyayaitu memasak dodol sebagai tradisi tahunan yang dilakukan di daerah itu untuk dibagikan kepada siapa saja yang datang ke rumah, baik keluarga, kerabat, teman maupun warga yang datang berkunjung.
Ia mengatakan kearifan budaya yang kental dengan ajaran agama Islam ini, harus dijaga bahkan dipopulerkan sepanjang masa, agar generasi muda maupun masyarakat yang tidak mengetahui tentang lebaran ketupat bisa memahami bahwa perayaan ini tidak sekedar untuk menikmati ketupat dan opor ayam serta dodol dan nasi buluh secara bersama-sama saja.
Namun katanya ada makna hakiki pada peringatannya, yaitu rasa syukur terhadap berkat yang dicurahkan sang Pencipta terhadap umat sepanjang tahun berjalan.
"Perayaan Lebaran pada hari ketujuh ini sebenarnya merupakan tradisi yang dimaksudkan ungkapan rasa syukur dari umat Islam yang telah menjalankan ibadah puasa sunnah enam hari setelah Idul Fitri," katanya.
Selain itu di Bangkalan, yang paling dekat dengan Kota Surabaya itu, masyarakat merayakan Lebaran Ketupat dengan menggelar pawai dokar hias keliling kampung.
Pawai dokar hias itu digelar warga empat desa, yakni warga Parseh, Sangra Agung, Jaddih, dan Desa Biliporah, Kecamatan Socah, Bangkalan.
Pawai dokar hias digelar dengan berkeliling jalan-jalan di desa itu berangkat dari Desa Parseh dan berakhir di Desa Biliporah. Jalan yang dilintasi pawai dokar hias sekitar 5 kilometer.
Menurut dia, ketupat tidak lepas dari perayaan Idul Fitri. Dalam perayaan Idul Fitri tidak pernah pisah dari perayaan Ketupat Lebaran. Istilah tersebut telah menjamur di semua kalangan umat Islam terutama di pulau Jawa.
"Ketupat atau kupat sangatlah identik dengan Hari Raya Idul Fitri. Buktinya saja di mana ada ucapan selamat Idul Fitri tertera gambar dua buah ketupat atau lebih," katanya.
Dalam ajaran Islam, memang ada anjuran, yakni disunnahkan berpuasa selama enam hari pada bulan Syawal dan puasa itu bisa dimulai sehari setelah hari Idul Fitri," katanya.
Biasanya, sebagian besar umat Islam, memulai puasa sunnah di bulan Syawal itu memang sehari setelah Hari Raya Idul Fitri, meski dalam hadis itu tidak ditetapkan harus sehari setelah Lebaran.
"Kebiasaan berpuasa sunnah sehari setelah Idul Fitri itulah yang lalu membentuk kebiasaan atau tradisi di kalangan umat Islam, dengan merayakan "Lebaran Kedua", yakni Lebaran yang dirayakan secara khusus, karena mereka bisa berpuasa sunnah selama enam hari itu.
"Jadi, sebenarnya, Lebaran Ketupat atau Lebaran Kedua yang digelar pada hari ketujuh bulan Syawal ini, titik tekannya lebih pada tradisi atau kebiasaan itu, saja ketentuan normatif dalam Al Quran hanya ada dua hari raya yakni Idul Fitri dan Idul Adha.