"Untuk sementara sampai detik ini saya masih mencintai dunia jurnalistik yang sangat luar biasa," kata Najwa saat bertemu dengan sejumlah wartawan di Kupang, Jumat.
Hal ini disampaikannya berkaitan dengan isu yang berkembang soal dirinya akan ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Sosial menggantikan Khofifah Indar Parawansa yang akan maju sebagai Calon Gubernur Jawa Timur pada 2018 mendatang.
Najwa mengaku dirinya kaget saat dikirimkan sebuah foto dari salah satu media nasional yang berisi bahwa dirinya menjadi Menteri Sosial dalam Kabinet Joko Widodo pascareshuffle yang diagendakan pada Rabu (16/8) pekan depan.
Mantan presenter Mata Najwa itu juga mengatakan bahwa dirinya baru tiba di Kupang, dan mendapatkan banyak sekali ucapan selamat dari sahabat-sahabatnya karena pemberitaan tersebut.
"Saya di WA kemudian di SMS isinya ucapan selamat. Tetapi jujur saya tidak tahu sumber berita itu dari mana, kemudian saya juga tidak dikonfirmasi soal berita bahwa saya dipilih menjadi Menteri Sosial," tambahnya.
Najwa mengaku bahwa dirinya memang dalam beberapa bulan terakhir sering ke Istana Negara. Namun kedatangannya bukan bertemu dengan Presiden Joko Widodo tetapi dengan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Pertemuan tersebut hanya membahas masalah literasi membaca serta sebagai seorang wartawan yang memang sedang bertugas untuk mewawancarai pihak Istana Negara.
"Saya mau sampaikan kalau kedatangan saya ke Istana itu tidak ada kaitannya dengan reshuffle, tetapi soal jabatan saya sebagai duta baca. Lagi pula masalah reshuffle yang tahu hanya Tuhan dan Presiden," tuturnya.
Ketika ditanya soal berhentinya dirinya dari acara Mata Najwa akibat masalah Novel Baswedan, ia mengaku bahwa itu hanya sebuah spekulasi yang dibuat-buat.
"Rabu lalu saya sudah mengumumkan bahwa bulan Agustus ini akan berakhir acaranya dan ini tidak ada kaitannya dengan Novel Baswedan. Dan menurut saya informasi itu hanyalah sebuah spekulasi," demikian Najwa Shihab.
Minat baca
Tatkala tampail sebagai Duta Baca Perpustakaan Nasional Najwa Shihab mengatakan minat membaca masyarakat Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
"Berdasarkan hasil survei, menyatakan bahwa saat ini minat baca masyarakat Indonesia sangtlah rendah. Sebab minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara," katanya.
Survei tersebut, lanjut Najwa, berasal dari studi "Most Littered Nation in the World 2016" yang dilakukan pada tahun 2016.
Kedatangan Najwa Shihab ke Kupang dalam rangka menggelar Temu Literasi di Kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang diinisiasi Lembaga Garda Lamaholot bekerjasama dengan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan.
Temu literasi itu bertemakan "Literasi Untuk Kebhinnekaan" dengan menghadirkan Gubernur NTT Frans Lebu Raya sebagai bintang tamu berlangsung pada Jumat malam di Kupang.
"Kalau dilihat angka-angka dan data-data lain sering kali memang fakta angka di atas kertas kemampuan membaca anak-anak Indonesia bahkan dibandingkan dengan negara lain seperti ASEAN pun masih sangat jauh," tuturnya.
Ia membandingkan masyarakat Eropa atau Amerika khususnya anak-anak dalam setahun bisa membaca buku hingga 25-27 persen. Kemudian juga di Jepang bisa mencapai 15-18 persen buku per tahun.
"Sementara di Indonesia jumlahnya hanya mencapai 0,01 persen per tahun," ujar presenter kawakan Mata Najwa tersebut.
Karena itu, dia berharap dengan banyaknya pengiat literasi baca di NTT ke depannya NTT menjadi "pilot project" untuk literasi membaca dalam rangka meningkatkan peringkat membaca Indonesia di dunia.
Najwa usai mengelar kegiatan di Kupang, pada Sabtu (12/8) diagendakan ke Lembata untuk mengajak masyarakat di Kabupaten Lembata agar gemar membaca.
"Berdasarkan hasil survei, menyatakan bahwa saat ini minat baca masyarakat Indonesia sangtlah rendah. Sebab minat baca di Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara," katanya.
Survei tersebut, lanjut Najwa, berasal dari studi "Most Littered Nation in the World 2016" yang dilakukan pada tahun 2016.
Kedatangan Najwa Shihab ke Kupang dalam rangka menggelar Temu Literasi di Kota Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang diinisiasi Lembaga Garda Lamaholot bekerjasama dengan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan.
Temu literasi itu bertemakan "Literasi Untuk Kebhinnekaan" dengan menghadirkan Gubernur NTT Frans Lebu Raya sebagai bintang tamu berlangsung pada Jumat malam di Kupang.
"Kalau dilihat angka-angka dan data-data lain sering kali memang fakta angka di atas kertas kemampuan membaca anak-anak Indonesia bahkan dibandingkan dengan negara lain seperti ASEAN pun masih sangat jauh," tuturnya.
Ia membandingkan masyarakat Eropa atau Amerika khususnya anak-anak dalam setahun bisa membaca buku hingga 25-27 persen. Kemudian juga di Jepang bisa mencapai 15-18 persen buku per tahun.
"Sementara di Indonesia jumlahnya hanya mencapai 0,01 persen per tahun," ujar presenter kawakan Mata Najwa tersebut.
Karena itu, dia berharap dengan banyaknya pengiat literasi baca di NTT ke depannya NTT menjadi "pilot project" untuk literasi membaca dalam rangka meningkatkan peringkat membaca Indonesia di dunia.
Najwa usai mengelar kegiatan di Kupang, pada Sabtu (12/8) diagendakan ke Lembata untuk mengajak masyarakat di Kabupaten Lembata agar gemar membaca.
Jaga kebhinekaan
Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya ketika berbicara dalam forum Literasi Untuk Kebhinekaan menjamin bahwa masyarakat di provinsi kepulauan ini tetap mampu menjaga kebhinekaan dalam beragam perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
"Saya jamin masyarakat kita di NTT masih tetap mampu menjaga nilai-nilai kebhinekaan yang selama ini sudah dijaga dengan baik," katanya saat hadir sebagai pembicara dalam talk show bertema Literasi Untuk Kebhinekaan bersama Najwa Shihab di Aula El Tari Kupang, Jumat (11/8) malam.
Acara yang dinisiasi Lembaga Garda Lamaholot yang bergerak dibidang kebudayaan bekerjasasama dengan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan itu dhadiri ribuan orang dari unsur pemerintah daerah, pelajar serta kalangan masyarakat di ibu kota provinsi itu.
Gubernur Lebu Raya mengakui, semangat menjaga kebhinekaan masih kental dan tampak dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat di Provinsi Selaksa Nusa itu.
Meskipun NTT terdiri dari berbagai agama, ratusan suku dan bahasa daerah, namun kehidupan tetap berlangsung damai dan saling berdampingan.
"Dalam satu keluarga, mereka bisa berbeda agama namun mereka tetap hidup dalam rumah yang sama, makan di meja yang sama tanpa mempersoalkan adanya perbedaan itu," katanya.
"Bahkan di sini ketika umat Katolik bangun rumah ibadah maka saudara-saudara muslim datang bergotong-royong membantu demikian juga sebaliknya," katanya.
Menurut dia, nilai-nilai yang mencermintkan kebhinekaan itu merupakan warisan leluhur yang terus dijaga dari generasi ke generasi.
Untuk itu, ia mengatakan berbagai kesempatan terus mengajak masyarakatnya untuk menjaga dan merawat nilai-nilai luhur itu sehingga NTT tetap menjadi Nusa Terindah Toleransinya (NTT).
"Karena memang damai dan rukun itu tidak hadir dengan sendirinya tapi meski harus terus diusahakan, dikerjakan, dan diperjuangkan," katanya.
Sementara itu, Duta Baca Perpustakaan Nasional RI Najwa Shihab mengapresiasi semangat menghargai perbedaan tetap terjaga dengan dari pemerintah bersama masyarakat di provinsi itu.
Hal itulah, menurutnya, yang membuat NTT tetap menjadi teladan kehidupan toleransi di Indonesia yang perlu dipelajari masyarakat dari berbagai daerah lain.
"Apalagi bangsa kita dihadapkan tantangan intoleransi yang berpotensi mencederai kebhinekaan yang sejatinya menjadi kekayaan kita bersama," kata Najwa.
Lebih lanjut, jurnalis televisi kontemporer itu menambahkan toleransi terhadap kebhinekaan itu tidak cukup hanya disampaikan atau diucapkan melainkan harus dialami dan dirasakan secara langsung.
"Karena dengan merasakan langsung maka rasa saling menghargai perbedaan itu akan menjadi lebih erat," demikian Najwa Shihab.
"Saya jamin masyarakat kita di NTT masih tetap mampu menjaga nilai-nilai kebhinekaan yang selama ini sudah dijaga dengan baik," katanya saat hadir sebagai pembicara dalam talk show bertema Literasi Untuk Kebhinekaan bersama Najwa Shihab di Aula El Tari Kupang, Jumat (11/8) malam.
Acara yang dinisiasi Lembaga Garda Lamaholot yang bergerak dibidang kebudayaan bekerjasasama dengan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan itu dhadiri ribuan orang dari unsur pemerintah daerah, pelajar serta kalangan masyarakat di ibu kota provinsi itu.
Gubernur Lebu Raya mengakui, semangat menjaga kebhinekaan masih kental dan tampak dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat di Provinsi Selaksa Nusa itu.
Meskipun NTT terdiri dari berbagai agama, ratusan suku dan bahasa daerah, namun kehidupan tetap berlangsung damai dan saling berdampingan.
"Dalam satu keluarga, mereka bisa berbeda agama namun mereka tetap hidup dalam rumah yang sama, makan di meja yang sama tanpa mempersoalkan adanya perbedaan itu," katanya.
"Bahkan di sini ketika umat Katolik bangun rumah ibadah maka saudara-saudara muslim datang bergotong-royong membantu demikian juga sebaliknya," katanya.
Menurut dia, nilai-nilai yang mencermintkan kebhinekaan itu merupakan warisan leluhur yang terus dijaga dari generasi ke generasi.
Untuk itu, ia mengatakan berbagai kesempatan terus mengajak masyarakatnya untuk menjaga dan merawat nilai-nilai luhur itu sehingga NTT tetap menjadi Nusa Terindah Toleransinya (NTT).
"Karena memang damai dan rukun itu tidak hadir dengan sendirinya tapi meski harus terus diusahakan, dikerjakan, dan diperjuangkan," katanya.
Sementara itu, Duta Baca Perpustakaan Nasional RI Najwa Shihab mengapresiasi semangat menghargai perbedaan tetap terjaga dengan dari pemerintah bersama masyarakat di provinsi itu.
Hal itulah, menurutnya, yang membuat NTT tetap menjadi teladan kehidupan toleransi di Indonesia yang perlu dipelajari masyarakat dari berbagai daerah lain.
"Apalagi bangsa kita dihadapkan tantangan intoleransi yang berpotensi mencederai kebhinekaan yang sejatinya menjadi kekayaan kita bersama," kata Najwa.
Lebih lanjut, jurnalis televisi kontemporer itu menambahkan toleransi terhadap kebhinekaan itu tidak cukup hanya disampaikan atau diucapkan melainkan harus dialami dan dirasakan secara langsung.
"Karena dengan merasakan langsung maka rasa saling menghargai perbedaan itu akan menjadi lebih erat," demikian Najwa Shihab.