Jakarta (Antara NTT) - Menteri Keuangan Sri Mulyani menyiapkan lima hal strategis dalam rangka pembentukan tim reformasi di Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan.
"Sehubungan dengan reformasi di Ditjen Pajak yang telah saya sampaikan, maka saya segera membentuk dan mengumumkan tim reformasi di Ditjen Pajak yang tidak hanya menyangkut korupsi tetapi menyangkut lima hal strategis," kata Menteri Keuangan saat konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Selasa.
Pertama, kata dia, masalah SDM dan "product integrity", yaitu pembersihan aspek korupsi yang lebih pada kemampuan, kompeten, dan profesionalisme.
"Kedua masalah informasi sistem dan database. Ini membantu kami mengidentifikasikan kewajiban dari wajib pajak secara objektif dan mengurangi interaksi dari aparat pajak secara tidak perlu yang kemudian bisa menimbulkan transaksi seperti yang terjadi pada OTT aparat pajak oleh KPK," tuturnya.
Ketiga, pihaknya perlu memandang penting untuk memperbaiki bisnis dan proses internal dalam Ditjen Pajak.
Keempat, pihaknya perlu memperbaiki dari sisi struktur kelembagaan termasuk dalam hal ini berbagai macam struktur organisasi Ditjen Pajak sendiri termasuk hubungannya dengan kantor wilayah dan berbagai kantor pelayanan.
"Selama ini, staf khusus baik madya dan pratama masing-masing miliki tingkat kerawanan yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang struktur kelembagaan tersebut," ujarnya.
Terakhir, menurutnya tentu saja memperbaharui Rancangan Undang-Undang (RUU) atau Undang-Undang (UU) yang mengatur mengenai perpajakan, termasuk UU tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
"Yang sedang dalam proses pembahasan dengan DPR adalah UU KUP, yang dua lagi UU PPh dan UU PPN sedang proses untuk perbaikan di dalam draf UU amandemennya," ucap Menkeu.
Menurutnya, mungkin itu lima hal yang kami lakukan sehingga reformasi pajak menjadi suatu bentuk komitmen kami untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan kronolgi Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada Senin (21/11) malam.
"KPK menggelar OTT terhadap dua orang pada Senin (21/11) di daerah Kemayoran, Jakarta. Kedua orang tersebut adalah R. Rajamohanan Nair (RRN), Direktur PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP) dan Handang Soekarno (HS), Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak," kata Agus.
Turut juga diamankan tiga orang staf RRN, masing di Tangerang Selatan, Jakarta, dan Surabaya serta satu orang supir dan ajudan HS.
Pada Senin (21/11), pukul 20.00 WIB terjadi penyerahan uang dari RRN ke HS di kediaman RRN di Springhill Residences, Kemayoran.
"Seusai penyerahan, penyidik mengamankan HS beserta supir dan ajudan pada pukul 20.30 WIB saat keluar dari kediaman RRN. Dari lokasi diamankan uang sejumlah 148.500 dolar AS atau setara Rp1,9 miliar," kata Agus.
Setelah itu, penyidik menuju kediaman RRN untuk mengamankan RRN untuk kemudian membawa keduanya untuk dilakukan pemeriksaan.
"Dua staf RRN diamankan di kediaman masing-masing di daerah Pamulang, Tangerang Selatan dan Pulomas, Jakarta Timur. Selain itu penyidik juga mengamankan staf lainnya di Surabaya," tuturnya.
Agus menyatakan uang tersebut diduga terkait dengan sejumlah permasalahan pajak yang dihadapi PT EKP antara lain terkait dengan Surat Tagihan Pajak (STP) sebesar Rp78 miliar.
"Setelah melakukan pemeriksaan 1x24 jam pasca penangkapan, KPK melakukan gelar perkara antara pimpinan dan seluruh penyidik, dan memutuskan meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan sejalan dengan penetapan dua orang sebagai tersangka.
Sebagai pemberi, RRN disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi .
Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Sebagai penerima, HS disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Pasal tersebut mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.