Debat kedua Cagub NTT biasa-bisa saja

id Bataona

Debat kedua Cagub NTT biasa-bisa saja

Pengamat politik dari Unwira Kupang Mikhael Bataona MA

Acara debat calon Gubernur-Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur kedua yang digelar pada Selasa, (8/5) malam di Jakarta berlangsung normatif dan biasa-biasa saja.
Kupang (AntaraNews NTT) - Pengamat politik dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang Mikhael Bataona, MA menilai acara debat calon Gubernur-Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur kedua yang digelar pada Selasa, (8/5) malam di Jakarta berlangsung normatif dan biasa-biasa saja.

"Pada acara debat kedua ini juga normatif dan sepertinya semua calon mengemukakan format berpikir yang sangat ideal. Tidak ada satupun yang menggunakan data," kata Mikhael Bataona kepada Antara di Kupang, Kamis (10/5)

Debat calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 kedua yang berlangsung di iNews TV Jakarta itu mengusung tema Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi.

Ia mengatakan umumnya debat kedua Cagub NTT miskin dengan data atau tidak berbasiskan data, padahal data-data soal masalah birokrasi di NTT, juga soal korupsi sangat banyak.

Artinya, baik soal birokrasi maupun soal korupsi yang menjadi thema debat kedua, semuanya bicara sangat ideal, karena tak satu pun calon gubernur menggunakan data sebagai pembandingnya.

Baca juga: Pilkada 2018 - Debat cagub NTT mirip orang baca injil
Debat kedua pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT periode 2018-2023 di iNews TV Jakarta, Selasa (8/5) malam. (ANTARA Foto/Tim sukses) 
Seharusnya data-data tentang penempatan jabatan dilingkungan pemerintahan dan korupsi di NTT disajikan lalu digunakan untuk berdebat.

"Panelis sudah sedikit memancing dalam pertanyaan tetapi hal ini gagal dimaksimalkan oleh semua paslon. Mereka tidak berani bicara berbasiskan data dan hanya menyampaikan hal-hal ideal tentang birokrasi dan juga mimpi-mimpi mereka untuk gerakan anti korupsi di NTT," kata Mikhael Bataona.

Karena itu, debat kedua akhirnya seperti kehilangan aura. Sangat datar dan monoton dan biasa-biasa saja seperti orang baca injil di gereja.

"Ada beberapa sesi di mana para paslon saling memuji juga baik tetapi harusnya memuji dengan mendebat kualitas jawaban lawan. Itu tidak terlihat," katanya.

Padahal memuji sesuatu yang tidak pantas dipuji adalah sebuah ramah-tamah yang tidak perlu.

Baca juga: Pilkada 2018 - Gagasan Cagub NTT masih bersifat normatif
Para calon Gubernur-Wakil Gubernur NTT foto bersama sebelum debat babak kedua di iNews TV Jakarta pada Selasa (8/5) malam. (ANTARA Foto/Tim Sukses)
"Debat itu acara di ruang publik atau dalam bahasa filosofis adalah sebuah hajatan di polis. Bukan di rumah atau oikos," katanya.

Memindahkan kebiasaan dan aturan main di ruang privat dan komunal yaitu oikos ke ruang debat politik yang sudah jelas berada di ruang publik atau polis, justru menghilangkan substansi debat.

Masyarakat kelas menengah dan para pemilih milenial di NTT akhirnya bisa melihat bahwa ternyata debat Pilgub NTT beda kelas dengan debat Pilgub Jawa Barat, Jateng dn Jatim.

"Ini patut disayangkan karena mengeluarkan biaya yang tidak kecil dari APBD NTT, tapi hanya menghasilkan hal yang biasa-biasa saja," demikian Mikhael Bataona.