Artikel - Piala Dunia dan peran sentral gelandang tengah
...Lini tengah bisa diandaikan sebagai ruang mesin bagi sebuah tim sepak bola dan para gelandang adalah teknisi-teknisi yang mengendalikan ruang itu
Jakarta (ANTARA) - "Jika kita mengendalikan lapangan tengah, maka kita pasti mengendalikan pertandingan, dan kita mempunyai peluang lebih besar untuk menang."
Kalimat itu disampaikan oleh Xavi Alonso, mantan gelandang Real Sociedad, Liverpool, Real Madrid dan Bayern Muenchen.
Xavi tak hanya membuat kesimpulan itu dari pengalamannya selama bermain bersama tim-tim itu dan juga tim nasional Spanyol, namun juga karena melihat fakta-fakta baik di tingkat klub maupun tingkat timnas bahwa sepak bola modern memang berasosiasi erat dengan bagaimana sebuah tim menguasai lapangan tengah.
Lini tengah bisa diandaikan sebagai ruang mesin bagi sebuah tim sepak bola dan para gelandang adalah teknisi-teknisi yang mengendalikan ruang itu.
Para gelandang menjadi penghubung lini pertahanan dengan lini serang yang mengalirkan bola ke teritori pertahanan lawan untuk menciptakan peluang mencetak gol.
Karena posisinya itu, pesepak bola yang mengisi lini tengah adalah pemain yang paling keras bekerja, bukan saja dituntut untuk turut merangsek ke depan guna membantu serangan, namun juga menjadi pihak pertama yang memberikan perlindungan kepada lini belakang.
Dengan peran sebegitu penting, seorang gelandang dituntut memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan pemain-pemain yang menempati posisi lain.
Mereka harus piawai menyalurkan bola dengan tepat, terampil dalam mengumpan ke depan, jeli membaca pertandingan, pandai membuka ruang, lihai dalam mengecoh lawan, dan sigap merebut kembali bola dari penguasaan lawan.
Dengan kualifikasi seperti itu wajar jika gelandang begitu vital dan bahkan kerap menjadi kunci sukses sebuah tim dalam sebuah turnamen, entah tingkat klub, ataupun kompetisi antar-negara.
Mereka adalah para dirigen lapangan hijau yang mengharmonikan orkestra permainan sepak bola sehingga menghasilkan output optimal.
Mereka menjadi kunci sukses sebuah tim, baik tingkat klub maupun tingkat tingkat timnas.
Sejak ada 4-4-2
Kita bisa melihatnya dari tim-tim seperti Manchester City, Liverpool, Real Madrid, Bayern Muenchen, dan Barcelona, atau Prancis, Italia, Jerman, dan Argentina pada tingkat timnas. Sukses mereka selalu bertautan dengan hadirnya gelandang yang mumpuni.
Dalam tingkat Piala Dunia FIFA yang November tahun ini di Qatar akan menjadi edisinya yang ke-22, pun begitu.
Ambil contoh Italia pada 2006, Spanyol dalam edisi 2010, Jerman pada 2014, atau Prancis empat tahun lalu di Rusia, dan Italia dalam Euro 2020 serta Argentina dalam Copa America yang keduanya diadakan tahun lalu.
Ketika Italia menjuarai Piala Dunia ketiganya pada 1982 adalah duo gelandang AC Milan, Gennaro Gattuso dan Andrea Pirlo, yang membuat Azzurri menjaga keseimbangan permainannya sehingga menjadi juara dunia tahun itu.
Sedangkan pada 2010, tiga gelandang Barcelona, yakni Sergio Busquets, Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, membuat Spanyol akhirnya mengangkat Piala Dunia setelah lama tak pernah merasakannya.
Peran sentral gelandang juga mengemuka empat tahun kemudian ketika duet Bastian Schweinsteiger dan Toni Kroos yang waktu itu sama-sama bermain untuk Bayern Muenchen, menjadi dua aktor lapangan hijau terpenting Jerman dalam menjuarai Piala Dunia 2014.
Sedangkan empat tahun lalu di Rusia, trio Paul Pogba, Blaise Matuidi dan N'Golo Kante menjadi faktor besar yang membawa Prancis menjuarai Piala Dunia 2018.
Setahun lalu ketika Piala Eropa digelar di banyak tempat, trio Nicolo Barella, Marco Verratti dan Jorginho menjadi kunci sukses Italia dalam menjuarai Piala Eropa 2020.
Trio Italia ini bahkan disebut-sebut sebagai trio gelandang terhebat sejak trio legendaris yang tidak saja membawa Spanyol menjuarai Piala Dunia dan Piala Eropa tetapi juga menjadi faktor besar dalam sukses Barcelona selama bertahu-tahun; Sergio Busquets, Andres Iniesta dan Xavi Hernandez.
Tetapi peran penting gelandang belum mengemuka sampai akhir 1960-an ketika orang mulai menciptakan formasi 4-4-2.
Formasi ini sudah menjadi pakem untuk sebagian besar tim sepak bola karena merupakan formasi yang paling seimbang dan sekaligus membuat para gelandang mendapatkan peran yang pasti.
Formula itu pula yang membuat posisi gelandang tengah menjadi demikian penting, baik dalam bertahan maupun kala menyerang.
Dia bukan saja menjadi poros permainan tim, namun juga penyeimbang untuk dua rekannya yang bermain sebagai gelandang sayap. Mereka memiliki dua tugas sangat penting, yakni mendukung penyerang dan sekaligus menyangka para bek.
Pengubah tim
Dengan peran dan statusnya seperti itu, gelandang tengah menjadi pemain yang paling bugar di lapangan karena merekalah yang menjelajahi lapangan lebih jauh ketimbang rekan-rekannya, kira-kira antara 9-12 kilometer dalam setiap pertandingan.
Karena daya jelajah ini, mereka menjadi pemain yang paling sering dan paling lama mengolah bola, sekaligus menjadi pengatur tempo permainan, dalam menentukan kapan tim harus ke depan, dan kapan harus mundur membantu pertahanan.
Baca juga: Artikel - Cerita Cristiano Ronaldo selanjutnya di Manchester United
Mereka tak diharuskan mencetak gol karena yang mereka yang perlukan adalah menjadi pemberi umpan yang baik dan dirigen permainan timnya.
Inilah peran yang dimainkan gelandang-gelandang seperti Jorginho di Italia, N'Golo Kante di Prancis, Casemiro di Brazil, Declan Rice di Inggris, Kevin de Bruyne di Belgia, Frenkie de Jong di Belanda, Rodrigo de Paul di Argentina, dan banyak lagi.
Ada atau tidak adanya gelandang tengah atau gelandang bertahan yang hebat yang syukur-syukur berkelas dunia, acap mengubah tim yang hebat menjadi medioker.
Kita bisa melihatnya dari tim-tim semacam Manchester United yang terus terpuruk karena tak memiliki gelandang bertahan yang andal.
Tetapi keadaan itu tidak saja terjadi pada klub, namun juga timnas, termasuk mereka yang tampil dalam Piala Dunia.
Dengan semua penjelasan itu, akan sangat menarik melihat kiprah gelandang-gelandang tengah era ini dalam turnamen olah raga terbesar kedua di dunia setelah Olimpiade Musim Panas itu.
Baca juga: Artikel - Menjaga cahaya solidaritas Asia Tenggara
Piala Dunia 2022 nanti bukan saja menjadi tempat dari mana orang bisa melihat siapa pemain depan yang paling tajam dan siapa bek yang paling tangguh.
Sebaliknya juga tentang siapa gelandang yang menjadi teknisi paling efektif untuk mesin permainan sepak bola.
Calon-calonnya sudah antre. Dari Sergej Milinkovic-Savic di Serbia, Frenkie de Jong dari Belanda, Casemiro di Brazil, Luka Modric di Kroasia, N’golo Kante dari Prancis, Joshua Kimmich di Jerman, Sergio Busquets di Spanyol, Bernardo Silva di Portugal, Kevin de Bruyne di Belgia, sampai Federico Valverde dari Uruguay.
Baca juga: Artikel - Final Liga Champions: Secuil kisah dari Paris 41 tahun silam
Mereka semua siap membuat penggemar sepak bola sejagat berdecak kagum ketika Piala Dunia Qatar kickoff 20 November mendatang. Mereka juga siap menginspirasi para pesepak bola lainnya di seluruh dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Piala Dunia 2022 dan peran sentral gelandang tengah
Kalimat itu disampaikan oleh Xavi Alonso, mantan gelandang Real Sociedad, Liverpool, Real Madrid dan Bayern Muenchen.
Xavi tak hanya membuat kesimpulan itu dari pengalamannya selama bermain bersama tim-tim itu dan juga tim nasional Spanyol, namun juga karena melihat fakta-fakta baik di tingkat klub maupun tingkat timnas bahwa sepak bola modern memang berasosiasi erat dengan bagaimana sebuah tim menguasai lapangan tengah.
Lini tengah bisa diandaikan sebagai ruang mesin bagi sebuah tim sepak bola dan para gelandang adalah teknisi-teknisi yang mengendalikan ruang itu.
Para gelandang menjadi penghubung lini pertahanan dengan lini serang yang mengalirkan bola ke teritori pertahanan lawan untuk menciptakan peluang mencetak gol.
Karena posisinya itu, pesepak bola yang mengisi lini tengah adalah pemain yang paling keras bekerja, bukan saja dituntut untuk turut merangsek ke depan guna membantu serangan, namun juga menjadi pihak pertama yang memberikan perlindungan kepada lini belakang.
Dengan peran sebegitu penting, seorang gelandang dituntut memiliki kemampuan lebih dibandingkan dengan pemain-pemain yang menempati posisi lain.
Mereka harus piawai menyalurkan bola dengan tepat, terampil dalam mengumpan ke depan, jeli membaca pertandingan, pandai membuka ruang, lihai dalam mengecoh lawan, dan sigap merebut kembali bola dari penguasaan lawan.
Dengan kualifikasi seperti itu wajar jika gelandang begitu vital dan bahkan kerap menjadi kunci sukses sebuah tim dalam sebuah turnamen, entah tingkat klub, ataupun kompetisi antar-negara.
Mereka adalah para dirigen lapangan hijau yang mengharmonikan orkestra permainan sepak bola sehingga menghasilkan output optimal.
Mereka menjadi kunci sukses sebuah tim, baik tingkat klub maupun tingkat tingkat timnas.
Sejak ada 4-4-2
Kita bisa melihatnya dari tim-tim seperti Manchester City, Liverpool, Real Madrid, Bayern Muenchen, dan Barcelona, atau Prancis, Italia, Jerman, dan Argentina pada tingkat timnas. Sukses mereka selalu bertautan dengan hadirnya gelandang yang mumpuni.
Dalam tingkat Piala Dunia FIFA yang November tahun ini di Qatar akan menjadi edisinya yang ke-22, pun begitu.
Ambil contoh Italia pada 2006, Spanyol dalam edisi 2010, Jerman pada 2014, atau Prancis empat tahun lalu di Rusia, dan Italia dalam Euro 2020 serta Argentina dalam Copa America yang keduanya diadakan tahun lalu.
Ketika Italia menjuarai Piala Dunia ketiganya pada 1982 adalah duo gelandang AC Milan, Gennaro Gattuso dan Andrea Pirlo, yang membuat Azzurri menjaga keseimbangan permainannya sehingga menjadi juara dunia tahun itu.
Sedangkan pada 2010, tiga gelandang Barcelona, yakni Sergio Busquets, Xavi Hernandez dan Andres Iniesta, membuat Spanyol akhirnya mengangkat Piala Dunia setelah lama tak pernah merasakannya.
Peran sentral gelandang juga mengemuka empat tahun kemudian ketika duet Bastian Schweinsteiger dan Toni Kroos yang waktu itu sama-sama bermain untuk Bayern Muenchen, menjadi dua aktor lapangan hijau terpenting Jerman dalam menjuarai Piala Dunia 2014.
Sedangkan empat tahun lalu di Rusia, trio Paul Pogba, Blaise Matuidi dan N'Golo Kante menjadi faktor besar yang membawa Prancis menjuarai Piala Dunia 2018.
Setahun lalu ketika Piala Eropa digelar di banyak tempat, trio Nicolo Barella, Marco Verratti dan Jorginho menjadi kunci sukses Italia dalam menjuarai Piala Eropa 2020.
Trio Italia ini bahkan disebut-sebut sebagai trio gelandang terhebat sejak trio legendaris yang tidak saja membawa Spanyol menjuarai Piala Dunia dan Piala Eropa tetapi juga menjadi faktor besar dalam sukses Barcelona selama bertahu-tahun; Sergio Busquets, Andres Iniesta dan Xavi Hernandez.
Tetapi peran penting gelandang belum mengemuka sampai akhir 1960-an ketika orang mulai menciptakan formasi 4-4-2.
Formasi ini sudah menjadi pakem untuk sebagian besar tim sepak bola karena merupakan formasi yang paling seimbang dan sekaligus membuat para gelandang mendapatkan peran yang pasti.
Formula itu pula yang membuat posisi gelandang tengah menjadi demikian penting, baik dalam bertahan maupun kala menyerang.
Dia bukan saja menjadi poros permainan tim, namun juga penyeimbang untuk dua rekannya yang bermain sebagai gelandang sayap. Mereka memiliki dua tugas sangat penting, yakni mendukung penyerang dan sekaligus menyangka para bek.
Pengubah tim
Dengan peran dan statusnya seperti itu, gelandang tengah menjadi pemain yang paling bugar di lapangan karena merekalah yang menjelajahi lapangan lebih jauh ketimbang rekan-rekannya, kira-kira antara 9-12 kilometer dalam setiap pertandingan.
Karena daya jelajah ini, mereka menjadi pemain yang paling sering dan paling lama mengolah bola, sekaligus menjadi pengatur tempo permainan, dalam menentukan kapan tim harus ke depan, dan kapan harus mundur membantu pertahanan.
Baca juga: Artikel - Cerita Cristiano Ronaldo selanjutnya di Manchester United
Mereka tak diharuskan mencetak gol karena yang mereka yang perlukan adalah menjadi pemberi umpan yang baik dan dirigen permainan timnya.
Inilah peran yang dimainkan gelandang-gelandang seperti Jorginho di Italia, N'Golo Kante di Prancis, Casemiro di Brazil, Declan Rice di Inggris, Kevin de Bruyne di Belgia, Frenkie de Jong di Belanda, Rodrigo de Paul di Argentina, dan banyak lagi.
Ada atau tidak adanya gelandang tengah atau gelandang bertahan yang hebat yang syukur-syukur berkelas dunia, acap mengubah tim yang hebat menjadi medioker.
Kita bisa melihatnya dari tim-tim semacam Manchester United yang terus terpuruk karena tak memiliki gelandang bertahan yang andal.
Tetapi keadaan itu tidak saja terjadi pada klub, namun juga timnas, termasuk mereka yang tampil dalam Piala Dunia.
Dengan semua penjelasan itu, akan sangat menarik melihat kiprah gelandang-gelandang tengah era ini dalam turnamen olah raga terbesar kedua di dunia setelah Olimpiade Musim Panas itu.
Baca juga: Artikel - Menjaga cahaya solidaritas Asia Tenggara
Piala Dunia 2022 nanti bukan saja menjadi tempat dari mana orang bisa melihat siapa pemain depan yang paling tajam dan siapa bek yang paling tangguh.
Sebaliknya juga tentang siapa gelandang yang menjadi teknisi paling efektif untuk mesin permainan sepak bola.
Calon-calonnya sudah antre. Dari Sergej Milinkovic-Savic di Serbia, Frenkie de Jong dari Belanda, Casemiro di Brazil, Luka Modric di Kroasia, N’golo Kante dari Prancis, Joshua Kimmich di Jerman, Sergio Busquets di Spanyol, Bernardo Silva di Portugal, Kevin de Bruyne di Belgia, sampai Federico Valverde dari Uruguay.
Baca juga: Artikel - Final Liga Champions: Secuil kisah dari Paris 41 tahun silam
Mereka semua siap membuat penggemar sepak bola sejagat berdecak kagum ketika Piala Dunia Qatar kickoff 20 November mendatang. Mereka juga siap menginspirasi para pesepak bola lainnya di seluruh dunia.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Piala Dunia 2022 dan peran sentral gelandang tengah