Ekonomi NTT dan Nasional

id opini,ekonomi fiskal,fritz fanggidae,pengamat ekonomi,kondisi ekonomi ntt,ekonomi ntt,ekonomi nasional,ntt Oleh *Frits O Fanggidae

Ekonomi NTT dan Nasional

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang Frits O Fanggidae (ANTARA/HO-Dokumentasi Pribadi)

OpiniTren inflasi tahunan (y-on-y) maupun inflasi kalender (IHK) nasional dan NTT meningkat secara paralel.
Labuan Bajo (ANTARA) - Di tengah ancaman resesi dan stagflasi ekonomi global, ekonomi nasional dan regional (NTT) juga sedang bergelut dengan persoalan pertumbuhan, inflasi dan daya beli. Adakah rasa optimis di tengah ancaman resesi global tersebut? Terdapat dua hal menarik yang perlu dicermati dari perekonomian Nasional dan NTT, yaitu sumber pertumbuhan ekonomi dan inflasi serta dampaknya terhadap daya beli.
 
Pada akhir triwulan II-2022, pertumbuhan ekonomi Nasional dan NTT masing-masing tumbuh sebesar 5,44 persen dan 3,01 persen dibanding triwulan II-2021 (y-on-y). Dari sisi produksi, Lapangan Usaha Transportasi dan Pergudangan mengalami pertumbuhan tertinggi sebesar 21,27 persen (Nasional) dan di NTT, Jasa Akomodasi dan Makan Minum (Pariwisata) sebesar 23,36 persen.

Hal ini menunjukkan bahwa, pertumbuhan tinggi yang dicapai sektor pariwisata NTT dipengaruhi oleh kebijakan maskapai penerbangan membuka kembali rute penerbangan ke NTT, betapapun terdapat kebijakan fuel surcharge, yang berakibat naiknya harga tiket pesawat. Artinya, wisatawan yang datang ke NTT lebih mementingkan daya tarik obyek wisata dibanding harga tiket pesawat. Indikasi yang sangat baik bagi perekonomian dan pariwisata NTT khususnya.

Dari sisi pengeluaran, baik pada aras Nasional maupun NTT, komponen pengeluaran yang mengalami pertumbuhan tertinggi adalah Ekspor. Hal ini pun memperlihatkan perkembangan yang baik bagi perekonomian NTT, karena sampai sejauh ini, perkembangan ekspor NTT memiliki konvergensi yang lemah terhadap ekspor nasional. Pada masa lalu, pada saat ekspor nasional tumbuh tinggi, di NTT sebaliknya, impor lebih tinggi dibanding ekspor.

Hal yang lebih menarik adalah membandingkan pertumbuhan ekonomi Nasional dan NTT dari triwulan I ke triwulan II 2022 (q-to-q). Pertumbuhan ekonomi nasional triwulan II sebesar 3,72 persen dan NTT sebesar 6,22 persen. Dari sisi produksi, pada aras nasional lapangan usaha dengan pertumbuhan tertinggi adalah Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 13,15; sementara di NTT lapangan usaha Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 14,61 persen. Dari sisi pengeluaran, baik pada aras Nasional maupun NTT, pertumbuhan tertinggi berasal dari komponen pengeluaran pemerintah.

Apa artinya fakta ini? Pengeluaran pemerintah aras nasional mempengaruhi sektor produksi (lapangan usaha) pertanian, kehutanan dan perikanan; sementara di NTT, pengeluaran pengeluaran pemerintah mempengaruhi sektor jasa (Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib). Hal ini menunjukkan arah dan dampak kebijakan fiskal yang berbeda. Pada aras nasional, kebijakan fiskal, dalam hal ini belanja atau pengeluaran pemerintah efektif mempengaruhi sektor produksi; sementara kebijakan fiskal daerah (NTT) belum efektif mempengaruhi sektor produksi, tetapi efektif mempengaruhi sektor jasa.

Selain itu, tren inflasi tahunan (y-on-y) maupun inflasi kalender (IHK) secara nasional dan regional (NTT) terus bergerak naik. Secara nasional, sepanjang Januari – September 2022, angka inflasi terus meningkat. Laju inflasi tahunan (y-on-y) Tw-I 2,64 persen meningkat menjadi 4,35 persen (Tw-II). Sementara itu inflasi kalender (IHK) pada periode yang sama juga mengalami kenaikan signifikan dari Tw-I 0,69 persen menjadi 2,83 persen (Tw-II) dan 4,84 persen (September 2022).

Pada periode yang sama di NTT, angka inflasi tahunan (y-on-y) Tw-I 2,89 persen meningkat menjadi 4,28 (Tw-II). Sementara itu inflasi kalender (IHK) pada periode yang sama juga mengalami kenaikan signifikan dari Tw-I 0,71 persen menjadi 2,96 persen (Tw-II) dan 4,89 persen (September 2022).

Tren inflasi tahunan (y-on-y) maupun inflasi kalender (IHK) nasional dan NTT meningkat secara paralel. Besaran inflasi kalender (IHK) menunjukkan laju kenaikan yang relatif besar. Hal ini mengindikasikan kenaikan biaya hidup yang relatif besar pada periode Januari – September 2022. Kenaikan biaya hidup sebagaimana dimaksud pada aras NTT (1,80 persen) lebih besar dibanding nasional (1,30 persen), terutama setelah kenaikan BBM awal September 2022.

Kenaikan inflasi (y-on-y) maupun IHK, berbanding terbalik dengan tren daya beli masyarakat. Menggunakan Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai salah satu indikator daya beli, terlihat bahwa walaupun NTP Nasional berada di atas 100 dan NTP NTT dibawah 100, sama-sama menunjukkan tren menurun. NTP nasional turun sebesar 1,81 poin dari 108.67 (Januari 2022) menjadi 106.86 (September 2022); sementara itu NTP NTT turun sebesar 1,08 poin dari 96,22 (Januari 2022) menjadi 95,14 (September 2022).

Data di atas menunjukkan bahwa, sesuai teori, inflasi menekan daya beli masyarakat (petani). Persoalan yang dihadapi NTT sifatnya lebih mendasar, karena selain mengalami penurunan, daya beli petani sangat rendah. Harga yang diterima petani lebih kecil dari harga yang dibayar petani.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dicatat dua hal positif dari perkembangan perekonomian NTT sepanjang triwulan I-II 2022, yaitu preferensi wisatawan terhadap pariwisata NTT yang semakin kuat dan perkembangan positif dari komponen ekspor. Sementara itu, dua hal yang perlu mendapat perhatian adalah dari sisi fiskal, kebijakan pengeluaran pemerintah mempengaruhi sektor jasa, bukan produksi dan daya beli petani masih timpang, dimana harga yang dibayar lebih kecil dari harga yang diterima, bahkan semakin menurun.

Pada sisi lain, inflasi kalender (IHK) yang terus meningkat memberi dampak yang lebih besar terhadap peningkatan biaya hidup di  NTT dibanding nasional, apalagi setelah kenaikan harga BBM bersubsidi awal September 2022.

Menghadapi kondisi demikian, dari segi fiskal perlu pergeseran fokus kebijakan belanja pemerintah pada triwulan III dan IV, dari sektor jasa ke sektor produksi, terutama pertanian dan industri pengolahan. Hal ini akan berdampak baik bagi peningkatan PDRB untuk mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi, meningkatkan nilai tambah komoditas pertanian untuk menaikkan nilai tukar atau daya beli petani dan peningkatan produksi pangan akan menjadi salah satu kekuatan meredam laju inflasi yang berasal dari volatile food.

*Frits O Fanggidae adalah Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Artha Wacana Kupang