Negara perlu terlibat dalam mengatasi kemiskinan di perkotaan. Keberagaman masyarakat kita paling terlihat di perkotaan, terutama di Jakarta.
Sejak awal kemerdekaan, orang dari suku manapun datang ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih layak.
Semua bisa melihat profesi seseorang di sektor informal, identik dengan warga dari suku tertentu, bahkan lebih spesifik dari sebuah kota atau kabupaten tertentu.
Sekadar menyebut contoh adalah, tukang sol sepatu (Garut), jamu gendong (Wonogiri), pedagang sate dan tongseng (Madura atau Boyolali), warteg (warung tegal, Tegal), tambal ban (Batak), dan seterusnya.
Pada konteks ini dibutuhkan intervensi negara, untuk mengangkat kesejahteraan kelompok pelaku jasa informal tersebut, mengingat mereka berjasa dalam mengatasi problem pengangguran.
Berbagai program pemerintah yang ditujukan untuk kesejahteraan kelompok rentan, tentu mempunyai peran signifikan dalam menurunkan angka kemiskinan.
Apalagi kemiskinan bersifat dinamis. Kelompok penduduk yang tidak miskin pada suatu waktu, bisa jadi miskin di waktu yang lain. Sebaliknya, kelompok penduduk yang miskin pada suatu waktu, dapat menjadi tidak miskin di waktu lain.
Fenomena ini biasa terjadi pada kelompok rentan miskin. Bantuan sosial dari negara adalah bagian dari ikhtiar agar kelompok rentan tidak jatuh lebih miskin lagi.
Komunitas parokial seperti itu umumnya tinggal berkelompok dalam permukiman sederhana, sehingga dapat dibaca sebagai ada juga problem perumahan. Upaya menyediakan perumahan yang layak dan terjangkau warga tak mampu, harus menjadi perhatian negara.
Warga miskin atau tak mampu acapkali tinggal di permukiman yang kurang layak, sehingga berdampak buruk pada kesehatan dan kualitas hidup mereka.
Itu sebabnya memberi bantuan berupa bahan kebutuhan pokok kepada kelompok rentan, tentu masih belum memadai. Sebaiknya bantuan lebih diarahkan untuk menguatkan kelas bawah perkotaan agar dapat keluar dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri, sehingga bisa menjadi stimulus untuk menuju pada kemandirian.
Kendati ada perbedaan status ekonomi di kalangan masyarakat alias majemuk, perbedaan atau kesenjangan sebetulnya tidak terlihat tajam, karena ada etika (toleransi) yang menjadikan seseorang malu untuk menonjolkan kelebihannya.
Bila dalam komunitas masyarakat bawah, ada orang yang terlihat “sukses”, namun dengan adanya solidaritas (etika), orang yang dianggap paling sejahtera dalam kelompoknya, tetap berusaha menyatu dengan kelompoknya.
Orang “sukses” dimaksud biasanya adalah orang yang merantau pertama kali ke Jakarta, dan setelah sukses mereka mengajak orang di kampung halamannya untuk bersama-sama mencari nafkah di ibu kota.
Baca juga: Opini - Kurikulum Merdeka dan tantangan implementasi P5
Misalnya saja pengusaha warteg dari Tegal, akan menarik kerabatnya untuk datang ke Jakarta, demikian juga "bohir" untuk pedagang sate dari Madura, jamu gendong dari Wonogiri, dan seterusnya.
Masyarakat di Tanah Air pada dasarnya memiliki semangat solidaritas sosial yang tinggi. Negara bisa memfasilitasi bila ada dermawan yang ingin berbagi. Juga banyak perundang-undangan di negeri ini yang didasarkan pada semangat egalitarianism dan solidaritas sosial.
Baca juga: Opini - Menimbang Angkatan Perang Siber TNI
Maka menjadi ranah negara untuk membuat potensi itu bisa dikembangkan sebagai sistem kehidupan yang selalu menjaga solidaritas dalam keberagaman menuju kesejahteraan bersama.
*) Dr Taufan Hunneman adalah Ketua Umum Forum Bersama Bhinneka Tunggal Ika
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Keberagaman sebagai jalan kesejahteraan
Opini - Keberagaman sebagai jalan kesejahteraan
...Masyarakat di Tanah Air pada dasarnya memiliki semangat solidaritas sosial yang tinggi. Negara bisa memfasilitasi bila ada dermawan yang ingin berbagi. Juga banyak perundang-undangan di negeri ini yang didasarkan pada semangat egalitarianism dan s