Jakarta (ANTARA) - "Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa". Kutipan dalam bahasa Jawa kuno ini memiliki arti "Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada yang lebih mulia daripada yang lain".
Frasa Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu, menjadi simbol persatuan bangsa Indonesia. Bukan hal mudah bagi bangsa Indonesia yang memiliki keragaman agama, suku, dan budaya untuk tetap bersatu.
Perlu masyarakat yang inklusif, untuk bisa menciptakan negara yang beragam namun tetap damai dan saling menerima.
Dalam pandangan Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia Budi Santoso Tanuwibowo, sejak dahulu masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang sangat adaptif dalam menerima perbedaan. Hal tersebut terbukti bahwa seluruh agama yang saat ini ada di Indonesia bisa masuk secara damai dan diterima dengan baik.
Namun kemudian, semua mulai terasa berubah sejak era penjajahan dimulai. Masyarakat mulai terbagi-bagi. Kemudian terjadi peristiwa yang cukup besar di era 98 dimana etnis Tionghoa diperlakukan berbeda. Kendati demikian, Budi memandang hal itu terjadi bukan lantaran inklusifitas masyarakat yang mulai luntur. Tetapi ketidak adilanlah yang membuat segalanya berubah.
“Saya percaya dengan apa yang dikatakan oleh Konghucu sendiri. Dimana ada keadilan, dimana ada kesetaraan, maka disitulah persatuan hadir. Bahkan kalau ada keadilan, nggak ada persoalan kemiskinan. Mungkin miskin, tapi kalau melihat semua diperlakukan sama, no problem,” ujar Budi.
Peran pemimpin dan agama dalam menciptakan masyarakat inklusif
Tentunya, masyarakat yang inklusif harus terus dipertahankan dan diupayakan. Tujuannya tak lain adalah demi menjaga persatuan bangsa serta perdamaian. Untuk itu, Budi menilai bahwa peran dari pemimpin juga berpengaruh terhadap hal tersebut.
Budi menjelaskan, seperti yang diajarkan Konghucu, kebajikan seorang pemimpin laksana angin, dan kebajikan masyarakat laksana rumput. Artinya, kemana angin bertiup maka ke sana rumput akan mengarah.
Selama pemimpin bangsa ini mengajak untuk sesuatu yang baik, dan kemudian hal tersebut diimplementasikan secara nyata, maka masyarakat pun akan mengarah pada kebaikan.
Tak hanya pemimpin negara, para pemimpin agama juga berperan dalam menciptakan masyarakat yang inklusif. Menurut Budi, pemuka agama harus membuat masyarakatnya tidak mengingat perbedaan. Masyarakat justru harus mengingat bahwa mereka adalah satu kemanusiaan, satu bangsa, dan sama-sama penduduk yang memiliki hak serta kewajiban.
Nilai agama sendiri dapat menjadi salah satu pendorong untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif, kata Budi. Namun perlu diingat bahwa agama layaknya pisau yang tajam. Bisa digunakan untuk hal-hal yang baik, atau justru sebaliknya. Sebab agama tak hanya berbicara soal akal, melainkan juga hati seseorang.
“Konghucu itu sadar dan yakin bahwa hanya oleh kebajikan yang akan menggetarkan hati Tuhan, yang akan membuat hati Tuhan berkenan,” tutur Budi.
Oleh sebab itu, untuk menciptakan masyarakat yang inklusif, perlu diingatkan nilai-nilai kebaikan agama. Agar agama itu sendiri bisa mendatangkan kebaikan dan tidak menyakiti siapapun.
Mendidik generasi muda demi mengukir masa depan damai
“Seorang pemimpin agama harus bisa memberikan kesadaran bahwa agama adalah cinta dan kemanusiaan. Artinya kalau agama nggak mengajarkan cinta, itu bukan agama namanya. Cinta kepada siapa? Pada semua umat manusia,” kata Budi.
Hal inilah yang perlu diajarkan oleh setiap umat khususnya generasi muda yang merupakan penerus bangsa. Tak hanya itu, seorang pemimpin agama juga harus bersikap adil dan membela kebenaran. Budi memberi contoh, apabila seorang umat Konghucu memiliki konflik dengan umat lain, maka Budi tak serta merta membela umat Konghucu meski dia adalah pemuka agama Konghucu. Dia harus memberikan contoh adil dan membela kebenaran kepada setiap umat.
“Seperti yang juga diajarkan di agama Islam yakni rahmatan lil alamin. Artinya rahmat bagi seluruh alam. Dimana kehadiran agama mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi umat manusia dan alam,” lanjut Budi.
Budi juga memiliki cara untuk mendidik para generasi muda agar menjadi masyarakat yang inklusif. Cara tersebut diajarkan berdasarkan arah.
Ke atas, dimana seorang pemuka agama harus memberikan kesadaran akan cinta kasih di dalam beragama. Kemudian ke bawah, pemuka agama harus mendidik bahwa ada hal yang membuat kita semua menjadi satu. Bukan agama, bukan suku, melainkan kita semua lahir di negeri ini. Berpijak di negeri yang sama.
Ke belakang, masyaakat harus sadar bahwa setua-tuanya agama, kebudayaan manusia jauh lebih tua. Sehingga jangan lantaran memeluk agama tertentu, seseorang menjadi asing. Setiap masyarakat harus mengingat akar budayanya.
Ke kiri, jangan bertentangan antara agama dengan ilmu pengetahuan. Sebab terkadang, agama tak berbicara soal itu atau penafsiran manusialah yang salah terhadap hal tersebut. Sehingga tak bisa berpikir harus benar ataupun harus salah.
Ke kanan, yakni mengajarkan masyarakat untuk bisa merawat relasi dan kerukunan. Sebab, masyarakat merupakan rumah besar yang harus dirawat bersama, jelas Budi. Lalu ke depan, masyarakat harus bersama-sama memikirkan masa depan untuk merawat kelestarian manusia.
Terakhir ke tengah, setiap insan harus menjadi manusia yang punya dasar cinta kasih serta punya semangat belajar. Sebab dengan belajar, wawasan pun akan semakin luas sehingga masyarakat pun dapat lebih inklusif.
Harapan untuk masa depan