Mahasiswa perantau persoalkan peraturan pindah TPS di UU Pilkada ke MK
Para pemohon merupakan penduduk yang domisilinya tidak sama dengan yang tercantum dalam KTP. Jadi, para pemohon ini merupakan mahasiswa perantauan dari berbagai daerah...
Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 11 orang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, yang merantau dari daerah asalnya, mempersoalkan aturan pemindahan tempat pemungutan suara yang tercantum dalam Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
"Para pemohon merupakan penduduk yang domisilinya tidak sama dengan yang tercantum dalam KTP. Jadi, para pemohon ini merupakan mahasiswa perantauan dari berbagai daerah," ucap kuasa hukum para pemohon, Yuniar Riza Hakiki, pada sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Jumat, (4/11).
Kesebelas mahasiswa tersebut mempersoalkan frasa "di tempat lain" pada Pasal 62 ayat (1) dan frasa "di TPS lain" pada Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
"Frasa 'di tempat lain' dan 'di TPS lain' yang tidak jelas dan tidak akomodatif ketentuan normanya sehingga tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum," ucap Yuniar yang hadir secara daring.
Menurut para pemohon, frasa-frasa dalam kedua pasal tersebut tidak menentukan secara jelas dan akomodatif kebutuhan pindah TPS ke luar daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Oleh sebab itu, mereka mengaku terancam tidak dapat menyalurkan hak suara pada saat hari pemungutan suara.
Para mahasiswa itu juga mendalilkan bahwa akibat ketidakjelasan makna frasa "di tempat lain" dalam Pasal 62 ayat (1) dan frasa "di TPS lain" dalam Pasal 95 ayat (2) UU Pilkada berpotensi menimbulkan tidak terpenuhinya hak konstitusional masyarakat.
Mengingat tahapan Pilkada 2024 telah berjalan, para mahasiswa tersebut meminta agar pemeriksaan perkara yang mereka ajukan dapat diprioritaskan oleh MK.
Mereka meminta agar putusan dibacakan setidak-tidaknya sebelum hari pemungutan suara.
Lebih lanjut, para pemohon meminta MK menyatakan frasa "di tempat lain" dalam Pasal 62 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak berkekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai "di luar daerah provinsi asal dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal".
Kemudian, terhadap frasa "di TPS lain" dalam Pasal 95 ayat (2) UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak inkrah apabila tidak diganti dengan "di TPS luar daerah provinsi asal, dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal".
Perkara Nomor 137/PUU-XXII/2024 ini dimohonkan oleh Sabri Khatami Can, Muhammad Ihsan Almadani, Djenar Maesa Ayuka, Nasywa Yustisia Azzahra, Satrio Anggito Abimanyu, Aulia Shifa Salsabila, Siti Iran Badryah, Yoga Pebriansyah, Dzaky Al Fakhri, Ariq Faiq Muyassar, dan Khrisna Adam Yustisio.
Sidang perdana dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Pada akhir persidangan, majelis hakim panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonannya.
Baca juga: MK sudah merespons banding Anwar Usman soal jabatan ketua MK
Baca juga: MK sebut orang tua kandung yang ambil paksa anak dapat dipidana
"Para pemohon merupakan penduduk yang domisilinya tidak sama dengan yang tercantum dalam KTP. Jadi, para pemohon ini merupakan mahasiswa perantauan dari berbagai daerah," ucap kuasa hukum para pemohon, Yuniar Riza Hakiki, pada sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Jumat, (4/11).
Kesebelas mahasiswa tersebut mempersoalkan frasa "di tempat lain" pada Pasal 62 ayat (1) dan frasa "di TPS lain" pada Pasal 95 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada).
"Frasa 'di tempat lain' dan 'di TPS lain' yang tidak jelas dan tidak akomodatif ketentuan normanya sehingga tidak dapat memberikan jaminan kepastian hukum," ucap Yuniar yang hadir secara daring.
Menurut para pemohon, frasa-frasa dalam kedua pasal tersebut tidak menentukan secara jelas dan akomodatif kebutuhan pindah TPS ke luar daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
Oleh sebab itu, mereka mengaku terancam tidak dapat menyalurkan hak suara pada saat hari pemungutan suara.
Para mahasiswa itu juga mendalilkan bahwa akibat ketidakjelasan makna frasa "di tempat lain" dalam Pasal 62 ayat (1) dan frasa "di TPS lain" dalam Pasal 95 ayat (2) UU Pilkada berpotensi menimbulkan tidak terpenuhinya hak konstitusional masyarakat.
Mengingat tahapan Pilkada 2024 telah berjalan, para mahasiswa tersebut meminta agar pemeriksaan perkara yang mereka ajukan dapat diprioritaskan oleh MK.
Mereka meminta agar putusan dibacakan setidak-tidaknya sebelum hari pemungutan suara.
Lebih lanjut, para pemohon meminta MK menyatakan frasa "di tempat lain" dalam Pasal 62 ayat (1) UU Pilkada bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak berkekuatan hukum mengikat jika tidak dimaknai "di luar daerah provinsi asal dan/atau di luar daerah kabupaten/kota asal".
Kemudian, terhadap frasa "di TPS lain" dalam Pasal 95 ayat (2) UU Pilkada dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 secara bersyarat dan tidak inkrah apabila tidak diganti dengan "di TPS luar daerah provinsi asal, dan/atau di TPS luar daerah kabupaten/kota asal".
Perkara Nomor 137/PUU-XXII/2024 ini dimohonkan oleh Sabri Khatami Can, Muhammad Ihsan Almadani, Djenar Maesa Ayuka, Nasywa Yustisia Azzahra, Satrio Anggito Abimanyu, Aulia Shifa Salsabila, Siti Iran Badryah, Yoga Pebriansyah, Dzaky Al Fakhri, Ariq Faiq Muyassar, dan Khrisna Adam Yustisio.
Sidang perdana dipimpin Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah. Pada akhir persidangan, majelis hakim panel memberikan waktu 14 hari kepada pemohon untuk menyempurnakan permohonannya.
Baca juga: MK sudah merespons banding Anwar Usman soal jabatan ketua MK
Baca juga: MK sebut orang tua kandung yang ambil paksa anak dapat dipidana