Kupang (ANTARA) - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur Zet Tadung Alo mengatakan optimalisasi pendekatan follow the money dan follow the asset melalui Deferred Prosecution Agreement (DPA) dapat menjadi kunci menyelamatkan keuangan negara.
“Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), setiap tahun pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi baru berkisar tujuh persen. Padahal, kebocoran APBN dan APBD diperkirakan mencapai 30 persen setiap tahun,” katanya di Kupang, Senin.
Hal ini disampaikannya dalam sambutannya pada acara seminar ilmiah dengan tema Optimalisasi Pendekatan Follow The Money dan Follow The Asset melalui Deferred Prosecution Agreement (DPA) dalam penanganan perkara tindak pidana, di Kupang, Senin.
Seminar ilmiah itu dilaksanakan dalam rangka menyambut hari lahir ke-80 Kejaksaan RI dengan menghadirkan sejumlah pembicara seperti akademisi dan dari pihak kejaksaan.
Zet mengatakan berdasarkan hasil penelitian internasional, membuktikan bahwa 77 persen negara maju dapat berdiri kokoh bukan karena sumber daya alam yang melimpah, melainkan karena memiliki sistem hukum yang baik dan efektif.
Menurut dia, dalam kasus inilah follow the money dan follow the asset mempunyai peran yang penting karena dengan metode ini.
Dia menambahkan penegakan hukum tidak hanya berhenti pada penghukuman pelaku, tetapi juga memastikan aset negara yang dirampas bisa kembali.
Zet mengimbau agar aparat penegak hukum tidak hanya di NTT dapat mengedepankan inovasi dalam setiap proses penyidikan.
Lebih lanjut kata dia, saat ini pola kejahatan semakin beragam, dengan pelaku datang dari berbagai kelompok dan latar belakang.
“Penyelidikan hingga persidangan, bahkan sampai eksekusi, menuntut keseriusan,” ujar dia.
Dia juga menegaskan berdasarkan data ICW menunjukkan penyelamatan kerugian negara hanya sekitar tujuh persen per tahun, sementara kebocoran keuangan negara di Indonesia masih mencapai 30–40 persen.

