Kupang (ANTARA) - Wanita paruh baya itu terlihat mulai terlatih saat kedua tangannya menggenggam erat ujung kayu pada alat tenun lalu menarik kayu dengan panjang satu meter lebih ke arah perutnya diikuti dengan suara hentakan bunyi yang keras beberapa kali pada rajutan benang beraneka warna yang sudah mulai terikat padat.
Tarikan kayu pada bentangan kain merupakan bagian dari proses pemadatan rajutan benang untuk menjadi tenun ikat beragam motif.
Gerakan jari-jari kedua tangan tidak kaku lagi seperti dulu sebelum menyentuh alat menenun, malah menjadi lebih cekatan setelah dilatih selama hampir dua bulan lebih untuk menjadi penenun.
Mulai memotong dan menyambung kembali benang-benang yang putus pada bentangan kain tenun yang masih dirajut sudah dilakukannya dengan lincah dan penuh percaya diri.
Hal itulah yang dilakoni Lita Ossiant (20) salah seorang milenial di Kota Kupang yang ikut dalam pelatihan menenun dilaksanakan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Nusa Tenggara Timur.
"Sudah mulai bisa menenun sekalipun tidak selincah para penenun tradisional yang sudah biasa merajut tenun ikat sejak lama," kata Lita Ossiant saat ditemui di Kantor Dekranasda NTT belum lama ini.
Lita Ossiant merupakan salah satu dari 1.000 orang kaum milenial dari 17 kabupaten/kota yang beruntung mendapat kesempatan mengikuti pelatihan menenun yang dilakukan Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Nusa Tenggara Timur untuk menjadi penenun dalam melestarikan tenun ikat NTT.
Bagi Lita Ossiant menjadi seorang penenun setidaknya menjadi bagian dalam berkontribusi untuk melestarikan warisan budaya NTT.
Lita Ossiant memiliki obsesi menjadi seorang penenun dan pelaku usaha tenun karena usaha menenun memiliki prospek ekonomi yang positif pada masa depan karena permintaan konsumen terhadap tenun ikat terus meningkat.
Baca juga: Artikel - Akhir kasus Nurhayati sang pembongkar kasus korupsi
Hal serupa juga dilakoni Herlina Goko Rato (19) salah seorang peserta asal Kabupaten Sumba Barat yang ikut dalam pelatihan menenun tenun ikat NTT.
Herlina Goko Rato juga memiliki mimpi menjadi seorang pelaku usaha sekaligus penenun tenun ikat terutama tenunan ikat dari Pulau Sumba.
Bermodalkan ilmu yang diperolehnya selama mengikuti pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri IV jurusan tekstil setidaknya menjadi modal awal untuk bangkit menjadi seorang penenun tenun ikat dalam menopang ekonomi keluarga.
"Dari hasil pelatihan ini kami sudah bisa menghasilkan tenun sekalipun masih dalam bentuk kain selendang," kata Herlina Goko Rato dengan semangat.
Tenun ikat asal Nusa Tenggara Timur sudah semakin terkenal dalam empat tahun terakhir setelah banyak tokoh-tokoh di belahan dunia sering kali menggunakan busana bermotif tenun NTT dalam berbagai momen penting. Bahkan Pemerintah NTT mewajibkan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) setempat menggunakan tenun NTT satu kali dalam seminggu.
Tentu hal itu tidak terlepas dari peran seorang Ketua Dekranasda Provinsi NTT, Julie Sutrisno Laiskodat yang selalu mempromosikan tenun ikat NTT dengan pameran busana tenun NTT di ajang peragaan busana internasional seperti yang pernah dilakukan di Paris Fashion Week, London Fashion Week maupun New York Fashion Week.
Keberagaman motif tenun pada setiap lembar kain memiliki keunikan dengan ceritanya sendiri tentang keberagaman budaya masa lalu berbagai etnik di provinsi berbasis kepulauan ini sehingga menjadi daya tarik para pencinta tenun.
Baca juga: Artikel - Pemanfaatan FABA di Flores dorong inovasi energi di Indonesia
Semakin tingginya minat akan tenun khas NTT membuat para pelaku usaha dan penenun tenun ikat berlomba-lomba menciptakan produk tenun NTT untuk dapat menarik minat konsumen dengan beragam model.
Para pelaku usaha semakin kreatif dalam memproduksi hasil produk yang memiliki nilai seni dan cepat terserap pasar.
Para perajin sudah mampu membuat tas, baju, dompet gantungan kunci dan jas dari bahan tenun ikat yang sangat memanjakan mata para konsumen untuk memiliki hasil usaha pelaku usaha tenun di NTT itu.
Ketua Dekranasda Provinsi NTT, Julie Sutrisno Laiskodat menjelaskan keikutsertaan kaum milenial menjadi penenun sebagai bentuk edukasi kepada kaum mudah tentang pentingnya melestarikan budaya tenun ikat NTT.
Pelibatan penenun muda dalam menenun memiliki manfaat jangka panjang selain untuk melestarikan budaya juga untuk menyiapkan lapangan pekerjaan secara mandiri.
Pengakuan UNESCO
Tenun ikat NTT dengan beragam motif merupakan aset budaya yang harus terus dilestarikan sepanjang masa melalui beragam karya penenun.
Keseriusan Dekranasda NTT dalam melestarikan tenun ikat terus digelorakan di daerah termasuk mengusulkan ke UNESCO untuk menetapkan tenun Sumba sebagai warisan budaya dunia.
Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan dunia melalui UNESCO terhadap tenun ikat NTT tidak pernah berhenti setelah pada 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pernah mengusulkan hal serupa namun belum membuahkan hasil.
Kali ini perjuangan itu digelorakan kembali oleh Ketua Dekranasda Provinsi NTT, Julie Sutrisno Laiskodat dengan mengikut sertakan tenun ikat Sumba bersama tenun ikat dari daerah lain untuk diusulkan ke UNESCO.
"Kami pilih tenun ikat Sumba menjadi perwakilan dari NTT, tenun ikat Sumba dalam pengajuan ke UNESCO harus digabungkan dengan kain tenun seluruh Indonesia," katanya.
Pengajuan tenun ikat Sumba ke UNESCO memiliki banyak dampak ikutan terutama adanya perlindungan kekayaan intelektual kain tenun yang dimiliki oleh daerah penghasil dari pemalsuan dan penggunaan tanpa ijin dari pihak-pihak yang tidak bertanggung Jawab..
Juga terwujudnya pelestarian kebudayaan dan industri kreatif wilayah penghasil yang bermuara pada peningkatan perekonomian masyarakat.
"Manfaat lain memperkuat diplomasi perlindungan kekayaan intelektual di dunia internasional serta meningkatkan kebanggaan masyarakat penghasil tenun akan warisan kebudayaan NTT," katanya.
Julie Sustrino Laiskodat tidak pernah lelah mengajak masyarakat NTT dalam mengkampanyekan tentu ikat NTT melalui berbagai aplikasi sosial media untuk mendukung kain tenun ikat Sumba sebagai warisan budaya ke UNESCO.
Ketua Asosiasi Kelompok Usaha Unitas (Akunitas) Manggarai Barat , Kandy Mayangsari dari Labuan Bajo juga mendukung upaya Dekranasda Provinsi NTT melibatkan kaum milenial dalam pengembangan usaha tenun ikat.
Dengan keikutsertaan kaum milenial menjadi penenun dapat membangkitkan semangat kaum muda untuk terus menjaga warisan budaya tenun ikat NTT sehingga tetap dilestarikan.
"Kaum muda NTT akan memiliki rasa tanggung jawab untuk melestarikan budaya NTT yang sangat beragam dan kaya nilai sejarah, sehingga sangat penting adanya peran kaum muda dalam melestarikan tenun ikat sebagai warisan budaya masa lalu dengan menjadi penenun maupun pelaku usaha tenun ikat ," kata Kandy Mayangsary.
Baca juga: Artikel - Pentingnya mempersiapkan SDM pariwisata di Floratama NTT
Menurut dia usulan agar tenun ikat Sumba menjadi warisan budaya dunia ke UNESCO menjadi angin segar bagi pelaku usaha UMKM di NTT untuk terus mengembangkan usaha tenun ikat karena permintaan semakin meningkat.
Apalagi NTT terutama Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat menjadi salah satu lokasi side event G-20 menjadi momentum yang sangat strategis memperkenalkan kepada dunia tentang keunggulan tenun ikat NTT.
"Sekarang bagaimana kesiapan para pelaku UMKM di NTT, harus bisa mengantisipasi hal itu dengan memperbanyak produksi tenun ikat dengan beragam motif dengan hasil tenun yang berkualitas untuk kepentingan eksport karena saat ini permintaan dari luar negeri untuk tenun ikat dari NTT semakin meningkat ," ujar Kandy Mayangsary
Dengan semakin meningkatnya permintaan tenun ikat yang sebelumnya hanya digunakan untuk urusan adat kini berbuah manis karena tenun ikat NTT telah bernilai ekonomis serta menjadi sumber pendapatan ekonomi bagi masyarakat NTT.
Artikel - Merajut semangat kaum milenial melestarikan tenun ikat NTT sambut G-20
Oleh Benediktus Sridin Sulu Jahang
...Sudah mulai bisa menenun sekalipun tidak selincah para penenun tradisional yang sudah biasa merajut tenun ikat sejak lama