Kupang (Antara NTT) - Ketua Sinode Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) Pendeta Mery Kolimon mengapresiasi Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara yang masih melakukan moratorium (pemberhentian sementara) penyaluran tenaga kerja Indonesia (TKI) dari daerah tersebut.
"Kami mengapresiasi langkah Pemerintah Kabupaten Timor Tengah Utara terkait kebijakan moratorium tenaga kerja ini guna mempersiapkan tenaga kerja yang profesional dan terampil sebelum disalurkan," katanya kepada wartawan di Kupang, Jumat.
Menurut dia, langkah tersebut menunjukkan kesungguh-sungguhan pemerintah daerah dalam memerangi perdagangan manusia yang masih marak di daerah setempat.
Dia menyebutkan, dalam catatan GMIT sampai Desember 2016, sudah sebanyak 51 korban TKI asal Nusa Tenggara Timur yang meninggal dunia di luar negeri.
"Belum lagi yang pulang dengan kondisi luka-luka, dan dengan beban psikis akibat trauma besar," katanya pula.
Untuk itu, lanjut dia, pihaknya bersama masyarakat sipil maupun LSM setempat terus meminta pihak pemerintah agar tanpa henti memerangi praktek perdagangan manusia di provinsi kepulauan itu.
"Harus ada upaya serius dari masing-masing pemerintah daerah kabupaten maupun provinsi untuk menangani kedaruratan perdagangan manusia seperti dilakukan pemerintah TTU dengan kebijakan moratorium," katanya.
Menurut Pendeta Mery, tugas negara melalui pemerintah daerah harus memastikan bahwa calon tenaga kerja yang akan disalurkan bisa mendapat perlindungan terbaik.
Dia mengatakan, jika si calon tenaga kerja diberangkatkan ke luar negeri dengan pendidikan dan keterampilan yang terbatas maka rentan menjadi korban perdagangan manusia.
"Dan jika itu terjadi berarti negara dan kita gagal menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana diamanatkan Undang-Undang," katanya pula.
Dia menambahkan, itu sebabnya pihak gereja pun sebisa mungkin terus berupaya mengurangi praktek perdagangan manusia melalui upaya pencegahan, pendidikan dan penyadaran, pendampingan maupun rehabilisasi terhadap korban.
Bupati Timor Tengah Utara Raymundus Sau Fernandes mengatakan, kebijakan moratorium tersebut sudah diberlakukan selama satu tahun sejak Januari 2016, sambil mempersiapkan Balai Latihan Kerja (BLK) yang segera dibangun mulai tahun 2017 mendatang.
"Langkah itu (moratorium) harus saya lakukan untuk mencegah agar masyarakat saya tidak terus-menerus menjadi korban perdagangan manusia," katanya.
Dia menyebutkan, dalam tahun 2016 sudah tercatat 7 orang dari TTU yang meninggal di luar negeri yang sebelumnya diberangkatkan ke luar negeri secara ilegal.
Dia mengakui, meskipun kebijakan moratorium mendapat pertentangan dari pihak tertentu terutama perusahaan jasa ketenagakerjaan, namun menurut dia, hal itu dilakukan untuk menjaga agar masyarakatnya tidak diperlakukan secara semena-mena di tempat kerja.
Bupati dua periode itu mengatakan, moratorium TKI tersebut masih terus dilakukan hingga dua sampai tiga tahun ke depan sambil menunggu kesiapan BLK.
Peran BLK ini, lanjut dia, sangat penting sebagai tempat membina keterampilan kerja sesuai dengan potensi yang dimiliki calon tenaga kerja, seperti menjadi tukang, pembantu rumah tangga, mekanik, penjahit, petani, peternak dan lainnya.
Pihaknya akan mengundang berbagai pihak yang berkompeten dari perguruan tinggi, LSM, maupun gereja untuk menentukan kurikulum terbaik yang diterapkan di BLK tersebut.
"Kita akan inventarisasikan semua calon tenaga kerja, kemudian diberikan pendidikan dan keterampilan kerja sesuai potensi mereka, dan kemudian bisa disalurkan secara resmi baik ke dalam maupun luar negeri," demikian Raymundus Sau Fernandez.