Artikel - Hikmah erupsi Lewotobi bagi warga Desa Pululera

id Lewotobi Laki-laki,erupsi Lewotobi,hikmah Lewotobi,cerita Lewotobi,Flores Timur,pululera,Artikel lewotobi Oleh Sean Filo Muhamad

Artikel - Hikmah erupsi Lewotobi bagi warga Desa Pululera

Warga berlari menjauh dari erupsi dari kawah Gunung Lewotobi Laki-laki di Desa Pululera, Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, Kamis (7/11/2024). Berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi & Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM, erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki pada 7 November 2024 pukul 10:48 WITA mencapai tinggi kolom abu sekitar 5.000 meter di atas puncak atau 6.584 m di atas permukaan laut. (ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA)

Meskipun Tuhan memerintahkan hambanya untuk menjadi pengungsi dan hidup sederhana, tapi akan selalu ada cahaya di ujung lorong yang gelap, sebagaimana kata orang bijak...

Melihat fenomena ini, Paulus tak tinggal diam. Ia menginisiasi upaya mitigasi bencana secara mandiri agar masyarakat tak kebingungan dan larut dalam kesedihan.

"Tidak ada harta apapun yang seharga nyawa," kira-kira begitu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh Paulus untuk mengajak sekitar 2.000 warganya dalam mengungsi.

Sedikit demi sedikit, masyarakat mulai mengetahui upaya mitigasi bencana yang harus dilakukan kala mendengar gemuruh dari Gunung Lewotobi Laki-laki.

"Kalau ada bencana, kita lari sama-sama ke utara," jelas Paulus sembari menyeruput kopi hitamnya.

Dalam upaya mempelajari mitigasi bencana, wilayah pemukiman Desa Pululera yang berbentuk relatif vertikal memudahkan masyarakat untuk memahami rute evakuasi. Hingga akhirnya, seluruh warga desa terbiasa untuk melakukan aktivitas berlari ke utara.

Kebiasaan tersebut menjadi hal yang menyelamatkan mereka dari malapetaka. Erupsi besar yang terjadi tak sampai memakan korban jiwa warga desa.

Erupsi yang disertai muntahan batu pijar berukuran rata-rata sekepal tangan orang dewasa tersebut berhasil dihindari oleh warga dengan sigap.

Pengalaman dihujani batu yang menyala di malam hari membuat para warga menjadi lebih takut lagi dari sekadar kehilangan mata pencahariannya.

Oleh sebab itu, masyarakat mulai membangun posko pengungsian secara swadaya di wilayah bukit, di tengah hutan dan kebun mete sejauh 3-4 kilometer di utara Desa Pululera.
Lewo Kakan Lewo Arin Kini, masyarakat hidup dengan sangat sederhana di posko pengungsian mandiri itu. Posko pengungsian yang dibangun oleh masyarakat sejatinya bukanlah posko dengan bangunan permanen.

Posko pengungsian yang dibangun secara mandiri hanya berupa tenda-tenda sederhana beratapkan terpa. Posko ini dibangun secara terpisah di beberapa titik, dengan jumlah tenda yang berbeda-beda di setiap titiknya.

Tidak kurang dari 40 tenda didirikan di lokasi pengungsian tersebut. Tak hanya membangun posko secara swadaya. Pasokan logistiknya pun mereka penuhi secara swadaya.

Namun demikian, seluruh masyarakat bisa hidup tenang di posko pengungsian. Sebab, masyarakat menanamkan apa yang menjadi tradisi mereka secara turun-temurun.

"Lewo Kakan, Lewo Arin. Kampung kakak, ya kampung adik. Artinya di sini kita harus sama-sama membantu," ungkap Paulus.

Suasana semangat untuk hidup dan menyelamatkan sesama terasa hangat, hingga mampu melupakan dinginnya udara perbukitan di kaki gunung yang relatif sejuk.

Meski hidup di tenda tanpa aliran listrik, masyarakat tetap bisa hidup berdampingan dengan guyub rukun, tanpa adanya perselisihan antara masing-masing tenda.

Budaya ketimuran yang kental akan kesukuan dan kemargaan tidak terlihat secara jelas kala mereka menempati tenda-tenda pengungsian.

Dalam satu titik lokasi kemah, tenda-tenda yang didirikan mampu menampung hingga 50 orang dari berbagai suku atau keluarga.

Hal ini terjadi karena prinsip Lewo Kakan Lewo Arin tidak hanya sekadar slogan, namun juga menjadi spirit yang diresapi dan diimplemantasikan di dalam kehidupan mereka.


Revisi peta batas aman