Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan Indonesia mengantongi dua kerja sama strategis di bidang mineral saat kunjungan Presiden Prabowo ke China pada 8-10 November 2024.
Arah kerja sama itu adalah pengembangan kerja sama mineral hijau yang diharapkan menarik investasi energi bersih, dan selanjutnya adalah pengembangan dan pemanfaatan sumber daya mineral yang sangat dibutuhkan oleh industri modern, menurut keterangan Kementerian ESDM.
Kerja sama mineral hijau dengan China ditujukan untuk mendorong pengembangan industri mineral hijau mulai penambangan sampai hilirisasinya di Indonesia.
Menurut lembaga kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), Indonesia dapat menggalang kerja sama dengan China pada bidang manufaktur dan rantai pasok teknologi energi bersih, serta dekarbonisasi industri, termasuk pengolahan mineral rendah karbon
Mineral hijau mengacu pada produk mineral yang diperlukan untuk pengembangan industri hijau dan rendah karbon, serta eksplorasi, pengembangan, dan pemanfaatan sumber daya mineral yang ramah lingkungan dan berkelanjutan di semua tahapan.
Belajar dari China, sumber atau komoditas penting energi terbarukan yang dimiliki Indonesia perlu didukung dengan keberadaan rantai pasok yang memadai. Dalam hal ini, dukungan terhadap permintaan pun perlu menjadi perhatian pemerintah.
Sumber atau komoditas energi terbarukan yang dikembangkan di Indonesia juga perlu disesuaikan dengan tingginya permintaan global. Menurut data Irena, hingga awal 2024, penambahan energi surya atau solar photovoltaic (PV) adalah yang paling dominan dengan kontribusi 345 GW dalam energi terbarukan dunia. Berikutnya adalah energi angin dengan sumbangan 116 GW dan energi air dengan sumbangan 7 GW.
Indonesia juga dapat menginisiasi kerja sama dengan China untuk dukungan pendanaan dalam pengembangan energi terbarukan. Terdapat peluang relokasi investasi pebisnis China ke Indonesia setelah kebijakan Presiden terpilih AS yang tampaknya mengarah pada menguatnya proteksionisme.
Tentu peluang ini perlu ditangkap Indonesia. Pemerintah tentu tidak ingin ironi pada 2019 terulang kembali ketika perusahaan-perusahaan di China lebih memilih tujuan relokasi investasi ke Vietnam ketimbang Indonesia. Masalah stabilitas politik, perizinan, upah, dan sumber daya manusia perlu menjadi perhatian Pemerintah agar Indonesia menjadi destinasi utama relokasi bisnis di China.
Lembaga kajian Center of Economic and Law Studies (Celios) mengharapkan Indonesia dapat menerima peluang perpindahan sektor energi terbarukan seperti panel surya, mikro-hidro, dan tenaga angin dari China untuk akselerasi energi terbarukan di Indonesia.
Indonesia juga berharap melalui kerja sama dengan China dapat mempercepat upaya dalam menargetkan sedikitnya 60 persen menggunakan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) dari total pembangkit untuk 10 tahun ke depan.
Untuk menyambut peluang itu, pemerintahan Prabowo perlu membuat iklim investasi yang mendukung derasnya investasi energi terbarukan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perbaikan kerangka kebijakan dan regulasi, memperbaiki proses perizinan, dan insentif untuk operasional agar mendukung masuknya investasi.
Regulasi penting seperti Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Rancangan Undang-Undang Perubahan Iklim juga perlu segera disahkan agar investor tak lagi wait and see.
Baca juga: Artikel - Menyejahterakan NTT lewat elektrifikasi hingga pulau paling selatan
Stimulasi dari terciptanya rantai pasok energi terbarukan, teknologi energi bersih, dan dekarbonisasi industri diharapkan menjadi pemantik pertumbuhan ekonomi yang tinggi sejalan dengan target pengurangan emisi.
Baca juga: Artikel - Melihat capaian energi hijau PLTS IKN
Data Irena pada awal 2024 juga menyimpulkan salah satu “pekerjaan rumah” bagi-bagi negara di dunia dalam mengembangkan energi terbarukan, yakni inklusivitas.
Baca juga: Artikel - Memacu adopsi kendaraan listrik demi Bumi lebih hijau
Oleh karena itu, Indonesia perlu menjangkar arah baru pengembangan energi terbarukan pada kebijakan transisi energi yang berkeadilan, adil, inklusif, dan merata, dengan mengutamakan dampaknya pada masyarakat lokal, lingkungan, dan ekonomi nasional. Kerja sama energi terbarukan ini diharapkan semakin menopang "jembatan hijau" kemitraan Indonesia-China.
Editor: Achmad Zaenal M
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: “Jembatan hijau” kemitraan energi terbarukan Indonesia-China