Jakarta (ANTARA) - Komitmen pemerataan pembangunan diwujudkan pemerintah melalui kebijakan desentralisasi fiskal yang tetap progresif.
Sampai akhir Presiden Jokowi berkuasa, alokasi dana daerah terus naik dari tahun ke tahun. Bagi sebagian pihak, struktur belanja progresif ini meniscayakan produktivitas daerah dan keberhasilan pembangunannya.
Tetapi sebelum kita terpapar optimisme dan ujungnya terjerumus delusi, ada baiknya membedah faktor prasyarat dan lalu bertanya, sejauh mana keniscayaan itu tersedia?
Selama dasawarsa terakhir, alokasi kumulatif dana daerah menanjak signifikan. Pada tahun 2014, pemerintah mengalokasikan Rp596,5 triliun. Pada APBN 2024, total alokasi dana transfer ke daerah sejumlah Rp857,6 triliun. Ini berarti, selama sepuluh tahun, alokasinya naik 69,5 persen.
Di masa depan, jika pemerintah tetap konsisten dengan kebijakan membangun negara dari pinggiran, porsi alokasi dana daerah akan tetap membesar. Fakta inilah yang pada ujungnya membuat publik perlu bertanya, sejauh mana daya ungkit desentralisasi fiskal ini pada pembangunan ekonomi daerah, yang ujungnya berdampak pada cita besar pembangunan nasional.
Determinasi
Menguji produktif atau tidaknya desentralisasi fiskal ini perlu berpijak pada sejauh mana dana tersebut digunakan untuk menopang produktivitas daerah, atau sebaliknya fakta determinasi apa yang membuat penggunaan dana ini tidak optimal.
Ini berarti, terlepas dari beban teoritiknya, penggunaan dana ini untuk alokasi sektor-sektor yang dianggap perlu oleh pemerintah mestinya memiliki produktivitas yang tinggi.
Katakanlah, misalnya, masih dominannya alokasi APBD untuk belanja pegawai mestinya memiliki dampak positif bagi produktivitas daerah bersangkutan. Meski kebijakan ini patut dievaluasi sebab dianggap rendah daya ungkitnya, bahkan menghambat produktivitas, setidaknya pemerintah daerah harus dapat menjamin laju pertumbuhan kinerja aparatur bergerak meningkat dari tahun ke tahun.
Hal ini beralasan, sebab sejatinya aparatur berkualitas memiliki efek pengganda terhadap perekonomian daerah. Dengan membaiknya pelayanan publik, kondusivitas iklim usaha dapat terjaga dengan baik. Hal yang sama juga berlaku untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia pada aspek pelayanan kesehatan dan pendidikan bangku sekolah.
Kombinasi ideal berbagai faktor tersebut pada akhirnya menciptakan pembangunan lebih berkualitas. Oleh karenanya, desain kelembagaan mestinya determinan pada faktorial efisiensi, yakni relasi kausalitas antara jumlah aparatur dengan beban kinerja birokrasi.
Masalah muncul ketika daerah tidak memiliki standar produktivitas kelembagaan yang rasional dan terukur. Tingginya beban fiskal untuk belanja pegawai dan membengkaknya jumlah aparatur birokrasi adalah variabel penjelas mengapa selama ini pembangunan birokrasi kita tidak pernah mampu mendorong kemajuan daerah.
Sementara di sisi lain, kebijakan reformasi birokrasi yang bertumpu pada perbaikan kinerja aparatur juga belum menunjukkan hasil optimal, padahal kebijakan ini sudah diimplementasikan selama bertahun-tahun.
Soal inefisiensi ini, sejumlah pihak menyarankan privatisasi birokrasi. Agenda penggunaan sektor swasta dalam penyediaan barang dan jasa yang meliputi pembiayaan, pelaksanaan, dan pengawasan kualitas (Kosar, 2006) diharapkan akan mendorong efisiensi, memperbesar simpanan fiskal, meningkatnya pengawasan dalam sistem administrasi negara, dan memperoleh dividen politik (Michaels, 2013).
Dalam kaitannya dengan desentralisasi, privatisasi birokrasi diharapkan dapat menjadi katalis bagi partisipasi publik dan dunia usaha, sehingga terjadi akselerasi kinerja ekonomi.
Resentralisasi
Pemerintahan Presiden Prabowo melakukan penyesuaian atas besaran alokasi dana daerah. Pada tahun 2025, dana alokasi khusus (DAK) fisik hanya dialokasikan sebesar Rp36,9 triliun, jauh lebih rendah ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2024, alokasi DAK fisik sejumlah Rp53,8 triliun, atau 2023 yang menembus Rp53,4 triliun. Bandingkan dengan awal Presiden Jokowi berkuasa yang menembus Rp85,4 triliun. Ini tentu menjadi paradoks, sebab terjadi resentralisasi anggaran. Kuasa alokasi ini menunjukkan bahwa bandul pengelolaan pembangunan di daerah semakin dikendalikan oleh pemerintah pusat.
Barangkali pemerintah pusat punya alasan melakukan langkah ini. Desentralisasi berwajah paradoks, terjadi pemborosan anggaran yang tidak sebanding dengan kualitasnya.
Menurut Alliance for Integrity (2023) dalam laporan bertajuk Corruption and Infrastructure, korupsi sektor infrastruktur di Indonesia terjadi dalam semua tahapan pembangunan infrastruktur, baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Jadi tidak mengherankan jika kualitas infrastruktur masih rendah.
Pada tahun 2023, Indonesia hanya menempati peringkat ke-27 dari 185 negara. Peringkat ini malah turun ketimbang tahun 2020 yang menembus ranking ke-26 dari 182 negara (Global Quality Infrastructure Index).
Desentralisasi fiskal ternyata punya anomali. Meskipun punya dampak terhadap kinerja ekonomi kabupaten/kota di Indonesia, pemerintah daerah terjebak untuk lebih berfokus pada kepentingan internal wilayah mereka (Setiawan dan Aritenang, 2019).
Hal ini sejalan dengan temuan sebelumnya oleh Pepinsky dan Wihardja (2011) yang berkesimpulan bahwa selama kurun 2001-2007, tidak ada bukti valid untuk menunjukkan dampak desentralisasi pada pembangunan Indonesia.
Studi ini menyarankan kepada pemerintah untuk lebih cermat dalam mendesain kebijakan intervensi skala besar seperti desentralisasi.
Dana daerah yang tidak dialokasikan dengan tepat sasaran hanya akan menjadi perangkap fiskal. Membengkaknya dana simpanan pemerintah daerah di sejumlah bank pemerintah semakin menjelaskan anomali itu.
Pemerintah daerah kurang inisiatif dalam mendayagunakan semua peluang yang dimilikinya untuk memacu kinerja ekonomi. Meskipun membaik dibandingkan tahun sebelumnya, dana pemerintah daerah yang mengendap di bank pada akhir 2024 masih menembus Rp86,8 triliun. Angka ini membaik ketimbang Rp123,7 triliun pada 2022 dan Rp96,8 triliun pada 2023.
Semua kerumitan desentralisasi ini pada ujungnya meniscayakan kesigapan pemerintah dalam mencari jalan keluar.
Jika kelembagaan yang buruk ini tidak disikapi dengan tepat arah, segala komitmen membangun Indonesia dari pinggiran yang bertumpu pada alokasi dana desentralisasi, hanya memacu defisit produktivitas.
*) Arifuddin Hamid adalah Peneliti Prolog Initiatives, Alumnus Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan FEB UI
Editor: Sapto Heru Purnomojoyo
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Menilik masa depan desentralisasi fiskal