RS Jiwa Kupang masih butuh dokter spesialis

id dokter spesialis jiwa

RS Jiwa Kupang masih butuh dokter spesialis

Direktur Rumah Sakit Jiwa Tipe C Kupang, dr Dikson Lego. (ANTARA FOTO/Benny Jahang)

RS Jiwa Kupang masih membutuhkan dokter spesialis kesehatan jiwa guna membantu pelayanan kesehatan jiwa bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Kupang (ANTARA) - Rumah Sakit Jiwa Kupang, Nusa Tenggara Timur masih membutuhkan dokter spesialis kesehatan jiwa guna membantu pelayanan kesehatan jiwa bagi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di provinsi berbasis kepulauan ini.

Direktur Rumah Sakit Jiwa Tipe C Kupang, dr Dikson Lego, di Kupang, Sabtu (12/10), mengatakan RSJ di Pulau Timor yang mulai beroperasi pada 2018 itu, hingga saat ini hanya memiliki satu dokter spesialis jiwa.

"Hanya memiliki satu tenaga dokter spesialis ilmu kesehatan jiwa dengan menangani puluhan pasien penderita ganguan jiwa yang datang berobat setiap hari," kata dia.

Ia mengatakan pasien gangguan jiwa yang datang berobat ke klinik kejiwaan Rumah Sakit Jiwa Kupang mencapai 25 orang setiap hari
.
Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur melihat lukisan karya pasien penderita gangguan jiwa Rumah Sakit Jiwa Kupang, Sabtu (12/10/2019). (ANTARA FOTO/Benny Jahang)


Pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit jiwa milik Pemerintah Provinsi NTT itu mencapai 21 orang.

"Pelayanan medis bagi pasien kami dibantu beberapa dokter umum sehingga pelayanan kesehatan bisa berjalan," katanya.

Ia mengatakan status RSJ Kupang yang berstatus sebagai rumah sakit jiwa tipe C seharusnya didukung oleh tiga dokter spesialis jiwa.

Ia menambahkan penambahan dokter spesialis jiwa telah diusulkan kepada Dinas Kesehatan NTT namun belum terealisasi.

"Kami juga sudah berupaya melalui organisasi dokter spesialis jiwa seluruh Indonesia tetapi belum dapat,, karena kekurangan dokter spesialis jiwa terjadi hampir di seluruh rumah sakit jiwa di Tanah Air, dokter spesialis jiwa baru mencapai 500 orang di seluruh Indonesia," katanya.

Kekurangan dokter spesialis jiwa, kata Dikson, menjadi kendala dalam pelayanan kesehatan para penderita gangguan jiwa di kabupaten-kabupaten di Nusa Tenggara Timur. 

Baca juga: Benarkah masyarakat NTT masih mendiskriminasi penderita gangguan jiwa?
Baca juga: Lukisan mantan penderita gangguan jiwa dalam IEF 2019