Tiga Masalah Utama SDA NTT

id SDA

Tiga Masalah Utama SDA NTT

Alex Leda (bertopi) bersama masyarakat di pedalaman Papua (dok)

"Tiga masalah utama tersebut adalah To Much (terlalu banyak) mengakibatkan banjir, To Litle (terlalu sedikit) mengakibatkan kekeringan dan To Dirty (terlalu kotor) yang mengakibatkan pencemaran,"


Kupang, (AntaraNTT) - Kasubdit Wilayah Barat Pusat Air Tanah dan Air Baku Dirjen SDA Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Alex Leda mengemukakan ada tiga masalah utama sumber daya air (SDA) di Provinsi Nusa Tenggara Timur.


"Tiga masalah utama tersebut adalah To Much (terlalu banyak) mengakibatkan banjir, To Litle (terlalu sedikit) mengakibatkan kekeringan dan To Dirty (terlalu kotor) yang mengakibatkan pencemaran," kata Alex Leda dalam perbincangan dengan Antara di Kupang, Rabu.


Menurut dia, sesuai dengan kondisi aktual saat ini, persoalan yang selalu dihadapi masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini adalah masalah kekeringan dan banjir.


Dua masalah ini, kata dia, bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat terpisahkan satu sama lain, dan dalam perjalanannya menyisahkan berbagai persoalan yang tak pernah tuntas untuk diselesaikan.


Dampak dari perubahan iklim berupa, fenomena alam yang dikenal dengan sebutan El Nino dan Lanina. Dua fenomena alam ini selalu datang dan pergi silih berganti, menebar ancaman, meninggalkan bekas yang mendalam serta menyisahkan duka berkepanjangan bagi masyarakat daerah itu.


Dia mengatakan, akhir akhir ini kejadian kekeringan dan banjir dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) sering terjadi dalam tahun yang sama (diluar kebiasaan normal) bahkan sulit untuk diramalkan.


Pada awalnya, kata dia, ilmu statistik hidrologi (Stokastik) mampu meramal kejadian banjir dan kekeringan dengan cukup akurat, sehingga para pratiksi sudah cukup puas dengan hasil-hasil rekayasa Sumber Daya Air seperti membangun tanggul, waduk, bendung dan embung-embung.


Namun, ketidaknormalan kekeringan dan banjir saat ini bukan semata-mata akibat perubahan iklim, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi DAS seperti tak cukupnya lahan untuk peresapan, penyimpanan dan parkir air hujan.


Alex Leda menambahkan, secara umum berdasarkan data dan informasi yang dikumpulkan tercatat 30 titik kekeringan dan rawan pangan yang teridentifikasi yaitu di Pulau Flores pada lokasi, Sanonggoang, Reo, Pota, Ranamoe, Soa, Kaburea, Maurole, Magepanda, Pruda, Solor, Adonara, dan Pantar.


Di Pulau Timor terdapat titik kekeringan di Naikliu, Babau, Ponu/Mena, Besikama dan beberapa daerah di Pulau Rote dan Sabu, serta di Pulau Sumba seperti Kodi, Laratama, Anakalang dan Tanaraing.


"Jadi setiap tahun semakin banyak daerah yang mengalami kekeringan, hampir semua kabupaten melaporkan desa-desa yang terkena dampak kekeringan," katanya.


Kerugian dari bencana kekeringan terutama adalah kekurangan persediaan pangan dan tidak terpenuhinya kebutuhan air bersih, katanya.


Dampak kekeringan di masyarakat pedesaan langsung kelihatan, seperti kekurangan pangan, berhentinya aktifitas pertanian, kelaparan dan penyakit busung lapar, bahkan sampai menelan korban, besarnya kerugian tidak dapat ditaksir secara pasti, tetapi dapat terlihat dan ditaksir dari gagal panen, potensi pertanian yang tidak dapat berlangsung seperti sediakala, kata Alex Leda menambahkan.