Telaah - Membedah keputusan Nasdem mengusung Anies Baswedan

id mik bataona,nasdem,anies,capres Oleh *) Mikhael Raja Muda Bataona

Telaah - Membedah keputusan Nasdem mengusung Anies Baswedan

Pengamat politik yang juga pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira Kupang Mikhael Raja Muda Bataona (ANTARA/Bernadus Tokan)

...Jadi kita harus jujur secara akademik bahwa, strategi Nasdem ini akan efektif hanya untuk wilayah Barat seperti Sumatera, Banten dan Jawa Barat, tetapi akan menjadi batu sandungan dan tantangan sangat berat bagi Nasdem di wilayah Timur Indonesia,
Kota Kupang (ANTARA) - Keputusan Nasdem mengusung Anies adalah murni strategi politik elektoral. Berpindah dari warna partai yang Tengah Nasionalis menjadi partai yang mengusung figur yang selama ini diidentifikasi sebagai figur hasil politik identitas adalah sesuatu yang sangat berani.

Mengapa? sebab, kita tahu bahwa ceruk pemilih Nasdem dan ceruk pendukung Anies Baswedan itu berbeda dan bahkan saling menegasikan atau saling bertolakbelakang di ruang-ruang publik dalam pertarungan opini, hingga ke bilik suara saat Pemilu. 

Artinya keputusan Nasdem mengusung seorang figur yang selama ini lebih diasosiasikan sebagai figur dengan citra Kanan dan bukan Tengah, itu sangatlah berani. 

"Saya kira Nasdem patut diapresiasi dalam hal keberanian ini. Saya membaca bahwa rupanya Nasdem ingin mnjadi partai besar dan bukan lagi partai menengah. Hitungan ini saya pikir rasional dan sangat wajar. Nasdem tentu berhak untuk memanfaatkan semua kekuatan elektoral Anies untuk menaikan dukungan suara pemilih untuk Nasdem," katanya. 

Bisa dibaca secara statistikal bahwa jika suara semua pendukung Anies nanti konsisten memilih Nasdem maka efeknya memang akan luar biasa. Status Nasdem bisa naik menjadi salah satu partai pemenang Pemilu di 2024, di samping  PDIP, Gerindra dan Golkar.

Masalahnya adalah, seberapa kuat pengaruh Anies secara elektoral untuk Nasdem?. Lalu apakah irisan dan ceruk suara Anies hanya akan ke Nasdem ataukah juga ke partai-partai yang selama ini secara tradisional punya garis ideologis lebih ke kanan dan dekat dengan Anies? Itulah pertanyaannya. 

Sebab partai seperti PKS misalnya, punya garis ideologis yang lebih sejalan dengan pemilih-pemilih Anies. Hal inilah yang saya kira, butuh kerja keras dari Nasdem.

Selain itu, dari berbagai hasil survei, sebenarnya sudah terbaca bahwa suara Anies itu lebih cenderung ke PKS, juga ke PPP, dan bahkan juga ke Demokrat, bukan ke partai Nasdem. 

Artinya, saya membaca bahwa apabila nanti PKS juga berkoalisi dengan Nasdem untuk mengusung Anies, maka justru Nasdemlah yang akan tenggelam. Mereka tidak mendpat manfaat elektoral secara full. Bahkan juga tidak akan lagi menjadi pemain utama pengusung Anis.

Mengapa? karena secara tradisional, ceruk suara pendukung Anies akan lebih cenderung memilih PKS. Itulah alasan kenapa keputusan Nasdem ini sangat beresiko. Nasdem harus berhitung bahwa secara ideologis, akan sulit menyatukan pemilih mereka dan pemilih PKS. Itu sulit dibantah. Nasdem adalah partai yang disukai dan dipilih oleh pemilih-pemilih tengah dan nasionalis juga pemilih-pemilih rasional perkotaan yang menyukai spirit restorasi. 

"Jadi kita harus jujur secara akademik bahwa, strategi Nasdem ini akan efektif hanya untuk wilayah Barat seperti Sumatera, Banten dan Jawa Barat, tetapi akan menjadi batu sandungan dan tantangan sangat berat bagi Nasdem di wilayah Timur Indonesia, terutama Papua, Maluku dan Nusa Tenggara Timur (NTT) juga sebagian Sulawesi," katanya.

Kekuatan elit
 
Hal berikutnya yang bisa dibaca dari keputusan Nasdem ini adalah bahwa ini respon Nasdem terhpada kekuatan elit lainnya yang juga sedang bermain. 

Elit-elit yang kita sebut dalam teori politik sebagai kekuatan oligarki ini ada di semua partai. Dan Nasdem juga memilikinya. Mereka ini sama dengan elit partai lain yang menjadi kekuatan dominan elit yang selama ini bertarung termasuk mendesain Pilpres 2024. 

Dan ini akan sengit karena para elit partai yang jumlahnya sangat sedikit tetapi menjadi pemain utama dalam hampir semua partai politik ini ingin menang di Pilpres 2024.

Nah, dalam diskursus demokrasi, partai politik idealnya merupakan kanal untuk menyalurkan aspirasi rakyat. Tapi, menurut Robert Michels, semua partai politik tidak bisa melepaskan karakter elitisnya yang disebut oligarki ini. 

Sehingga kadang keputusan yang diambil elit seperti di Nasdem, berbeda dengan aspirasi kader di level bawah dan juga masyarakat pemilih. 

Nah, dalam hal ini Nasdem bisa saja mendapat dua manfaat, yaitu akan ditinggalkan para pemilihnya yaitu eksodus pemilih karena menolak figur Anies, atau justru sebaliknya di mana pemilih lama Nasdem akan semakin solid lalu diperkuat lagi oleh ceruk pemilih baru dari barisan pendukung Anies Baswedan yang membuat Nasdem mendapat limpahan elektoral. 

Tesis ini akan terbukti benar atau salah dalam survei mendatang yang kemudian baru bisa benar-benar dipastikan dalam Pilpres dan Pileg 2024. 

Pedang bermata dua

Artinya saya membaca  bahwa putusan ini ibarat pedang bermata dua. Bagi pemilih Nasdem yang sejak 2017 sudah menjadi pendukung partai Nasdem karena mereka anggap konsisten sebagai Partai tengah nasionalis, juga karena Nasdem adalah partai pembela Ahok dan pembela kelompok minoritas, keputusan Nasdem mendukung Anies ini  kontraproduktif dan menyakitkan. 

Mereka bisa saja marah dan melakukan eksodus. Tapi di sini yabg lain, bagi pendukung dan relawan Anies, Nasdem akan dilihat sebagai mitra baru dan sebuah partai yang siap didukung. Partai yang akan mereka idolakan di samping PKS. 

Karena sejak hari ini, garis ideologinya sudah sejalan. Ini yang akan membuat peta politik nasional berubah. Yang dulu anti Nasdem, karena Ahok, bisa saja mereka akan berbalik menjadi pendukung Nasdem secara all out.

Tapi masalahnya adalah Nasdem harus siap untuk berhadap-hadapan dengan PKS. Dan PKS juga harus siap kehilangan sebagian dukungan pendukung Anies. 

Karena dukungan itu akan terbagi. Inilah pedang mata dua berikutnya. Mereka yang sudah lebih dahulu mendukung Anies akan memilih apakah hijrah ke Nasdem atau tetap di PKS. Artinya, akan sangat sengit di internal koalisi Nasdem, PKS dan Demokrat. Ketiganya meski berkoalisi tapi sekaligus juga akan saling menegasikan karena mereka berebutan di kolam suara yang sama. 

Hal berikut yang bisa dibaca adalah strategi Nasdem ini sedikit terburu-buru karena berkaitan dengan kecerdikan mengamankan positioning sebagai pimpinan koalisi. Nasdem harus memberi efek kejut sebagai pemain utama koalisi. Merekalah yang akan memandu mitra koalisinya sebagai pimpinan. 

Berikutnya adalah mereka juga sedang mengamankan mitra koalisi mereka. Jika lambat maka PKS bisa saja berpaling dan pindah ke Golkar. Juga Demokrat bisa saja berubah haluan karena mereka hanya punya satu nama yaitu AHY sebagai Cawapres. Sedangkan PKS juga sudah siap dengan beberapa nama seperti Khofifah Indar Parawansa dan lainnya.

Dari aspek emosi, manuver Nasdem ini meski bisa saja mengecewakan banyak orang tapi sekaligus juga membuat popularitas partai ini naik.

*) Penulis adalah Pengajar Ilmu Komunikasi Politik dan Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial Politik Unwira Kupang