Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Cimol, Gedebage, Bandung, Rusdianto di acara TV swasta (20/3) mengeluhkan kebijakan Pemerintah untuk menghentikan sepenuhnya impor pakaian bekas.
Alasannya, dia sudah berdagang pakaian bekas di Pasar Cimol sejak 1997, setelah beralih profesi dari pedagang kaki lima sebelumnya yang sering diuber-uber aparat penegak hukum.
Rusdianto mengaku cuma menjual, tidak tahu asal-muasal barang. Karena itu, berjualan pakaian bekas sering bermodalkan kepercayaan saja, tanpa modal dan barang dititipkan oleh pemasok.
Ada sekitar 1.600 penjual pakaian bekas yang mengais nafkah di Cimol yang dibuka sejak 1990-an, sehingga jika kegiatan thrifting distop total sesuai instruksi Presiden tanpa alternatif solusinya, mereka bakal kehilangan mata pencaharian.
Para pembeli, lanjutnya, terdiri dari masyarakat dari strata menengah ke bawah, ada pula dari kalangan pelajar dan mahasiswa, baik untuk dipakai sendiri atau dijual lagi guna tambahan pemasukan.
Ketika ditanya, apakah ia bersedia beralih profesi, misalnya berjualan pakaian produk lokal (baru, bukan bekas) jika usaha penjualan pakaian bekas impor benar-benar distop, Rusdianto mengaku, hal itu tidak semudah yang dipikirkan karena ia harus memulai bisnisnya lagi dari nol dan lagi-lagi terbentur masalah permodalan.
Pedagang di Cimol cuma mencari sesuap nasi dari pagi, dan malam sudah habis. Pata pedagang itu bukan tergolong kaya raya, karena modalnya juga juga tipis.
Sementara itu Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Barat Andrew Permana mengaku, masuknya pakaian bekas impor sangat mengganggu industri pertekstilan nasional karena harganya yang sangat murah.
Produk lokal tidak akan mampu bersaing dengan pakaian bekas yang masuk secara ilegal, tanpa dikenai pajak.
Namun ia setuju jika yang harus “diburu” adalah para importir ilegal (penyelundup), bukan penjual di toko-toko atau gerai di pusat penjualan atau di pasar-pasar.
Nilai impor pakain bekas