Jakarta (ANTARA) - Impor pakaian bekas yang dilarang sejak 2015 hingga kini nyatanya tetap berjalan, bahkan kian marak, sehingga Presiden Joko Widodo sampai merasa perlu mengingatkan, karena jika dibiarkan terus, berpotensi mematikan industri pertekstilan nasional.
“Yang namanya impor pakaian bekas (thrifting), sangat mengganggu industri dalam negeri, “ kata Jokowi, saat meresmikan pembukaan “Business Matching Produk Dalam Negeri di Jakarta, 15 Maret 2023.
Peringatan Presiden itu, bak “gayung bersambut”, yang oleh Menteri Perdagangan Zulkili Hasan ditindaklanjuti dengan melakukan pemusnahan 824 bal pakaian bekas impor ilegal bernilai Rp10 miliar yang diduga berasal dari Malaysia dan Singapura.
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo pun memerintahkan jajarannya mengusut dugaan penyelundupan pakaian bekas impor, mencari akar permasalahannya, serta melakukan pemeriksaan terkait penjualannya yang makin marak.
Selain berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi domestik, terutama UMKM, Pemerintah menganggap pakaian bekas yang diimpor secara ilegal itu juga tidak layak bagi kesehatan penggunanya.
Larangan impor pakaian bekas diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51 Tahun 2015 dan Permendag Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Permendag Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Impor.
Faktanya, data BPS 2021 mencatat delapan ton pakaian bekas impor bernilai 44.000 Dolar AS dengan pos tarif HS 6309 yang melonjak menjadi 26,2 ton pada 2022 bernilai 272.246 Dolar AS (sekitar Rp4,21miliar dengan kurs Dolar AS = Rp15.468).
Dari jumlah tersebut, yang terjadi di lapangan kemungkinan jauh lebih besar, mengingat banyak impor pakaian bekas ilegal dilakukan melalui jalan-jalan tikus di perbatasan atau pulau-pulau terluar menggunakan kapal-kapal kecil atau perahu nelayan yang tak terdeteksi.
Masalahnya, selain mengganggu industri pertekstilan nasional yang sebagian dijalankan oleh UMKM, impor pakaian bekas, jika distop, juga bakal memukul para penjual, pemilik toko atau gerai, penjual daring dan pengguna, terutama dari kalangan menengah ke bawah.
Matikan pedagang