Cerita ibu Siti, sukarelawan pemulasaraan jenazah tanpa bayaran

id pemulasaran jenazah, kartini, Rumah Peduli Annisa,Siti Alifah,artikel perempuan Oleh Ni Putu Putri Muliantari

Cerita ibu Siti, sukarelawan pemulasaraan jenazah tanpa bayaran

Tokoh kartini sukarelawan pemulasaran jenazah bernama Siti Alifah saat diwawancara di Yayasan Rumah Peduli Annisa di Denpasar, Bali, Kamis (20/4/2023). ANTARA/Ni Putu Putri Muliantari

...Wanita dengan tiga cucu yang berjuang bak Kartini ini menganggap dirinya bukan orang yang lemah, terbukti dari fakta bahwa ia bisa lolos dari lubang permasalahan dan saatnya menjadi contoh bagi perempuan lainnya

Tahun 2019 Siti akhirnya resmi mengurus perizinan dan membentuk Yayasan Rumah Peduli Annisa yang berlokasi di Jalan Pura Demak VIII No 11X, Denpasar Barat.

Kantor bernuansa ungu itu merupakan bangunan hibah bantuan. Saat ini tempat tersebut sekaligus menjadi rumah tinggal Siti bersama keluarganya dan sejumlah anak asuh.

Proses pemotongan kain kafan berlangsung di sana, sementara untuk memandikan jenazah masih tetap dilakukan di rumah sakit.

Tak ada syarat bagi siapapun yang membutuhkan bantuannya, bagi duafa dan fakir miskin akan dibayarkan rumah sakitnya, dan untuk pengurusan jenazah hingga pemakaman tak terbatas, asalkan Muslim, karena terbatas pada prosesi yang berbeda.

Siti mulai dipermudah jalannya dalam melakukan aksi sosial, seperti saat ini ia telah membentuk tim relawan pemulasaraan jenazah terdiri dari 10 wanita dan 10 pria yang bekerja dengan "bayaran" segelas es teh tiap sehabis mengurusi jenazah.

Tak lagi menggunakan dana pribadi, kini kegiatan sosialnya dibantu oleh donatur perseorangan yang tergugah saat melihat kerja-kerja yayasan itu di media sosial Instagram.

Siti tak memiliki donatur tetap, donatur dari perusahaan besar, maupun pemerintah, sehingga dapat dikatakan tak banyak uang yang ia pegang untuk membantu masyarakat.

Untungnya, ada metode lain yang ia terapkan untuk bisa memulasarakan jenazah tanpa tergesa-gesa memikirkan biaya totalnya, yaitu membayar secara berkala.

Bisanya rumah sakit menelepon dia, Siti menjamin agar pasien bisa keluar. Biayanya dibayar yayasan tiap bulan secara cicil, misalnya Rp500 ribu per bulan, meskipun hutangnya Rp100 juta. Baru setelah 2 tahun diajukan ke KPKNL untuk permohonan keringanan. Seperti bulan ini dia mengajukan yang harusnya total Rp133 juta menjadi Rp26 juta.

Ratusan juta itu baru biaya mengeluarkan jenazah dari rumah sakit, sementara Siti masih harus mengurusi pemakamannya dengan biaya Rp2,5 juta ditambah perlengkapan upacara Rp700 ribu.

Dengan semua itu, ketua yayasan yang juga merupakan penjaga indekos tersebut mengaku tak menyesal, karena aksi sosialnya ini bentuk dari mensyukuri kehidupan nyamannya saat ini.


Pandemi COVID-19