Telaah - PLTS atap, transisi menjanjikan di wilayah terpencil

id Plts atap,Plts,ekonomi hijau,transisi hijau,energi terbarukan,pln,kementerian esdm Oleh Sartika Nur Shalati*)

Telaah - PLTS atap, transisi menjanjikan di wilayah terpencil

Ilustrasi PLTS atap. (ANTARA/HO-Suryanesia)

...Jika semua pihak serius memfasilitasi para calon pengguna PLTS atap, mulai dari kemudahan pemberian izin dan insentif, serta menjamin kepastian hukumnya, maka dapat dipastikan bahwa target transisi energi akan lebih cepat tercapai
Sayangnya, meski potensi PLTS atap tak kalah besarnya, proyek pembangkit berskala besar yang padat modal cenderung masih menjadi fokus.

Dalam dokumen Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, misalnya, PLTS atap tidak dijadikan opsi dalam program listrik desa (lisdes) untuk menerangi 3.095 desa-desa terpencil yang belum terjangkau jaringan PLN.

Pemerintah hanya memasukkan pembangkit listrik terpusat dari sumber energi terbarukan, seperti PLTS dan pembangkit listrik tenaga hidro, yang pengelolaannya membutuhkan tenaga ahli khusus.

Desa-desa terpencil yang menjadi sasaran program lisdes, lantas dituntut memiliki kemampuan mengelola dan mengoperasikan pembangkit listrik secara mandiri.

Pemerintah hanya berperan sebagai pembangun proyek dan menyerahkan pengelolaannya ke pemerintah daerah atau desa.

Dengan minimnya pengetahuan teknis untuk mengoperasikan sistem pembangkit terpusat yang lebih rumit, maka tak heran jika ada banyak pembangkit listrik tenaga surya yang mangkrak.

Riset yang dilakukan Yayasan Indonesia CERAH di Pekon (Desa) Way Haru, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, pada Desember 2023 menemukan, PLTS atap yang dipasang secara mandiri oleh masyarakat, ternyata lebih unggul dibanding PLTS terpusat yang dibangun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kondisi ini berawal ketika Kementerian ESDM membangun proyek PLTS terpusat senilai Rp 10,2 miliar pada 2016, namun dalam waktu kurang dari setahun setelah masa uji coba selesai, PLTS atap itu rusak.

Setelah beberapa kali bolak balik untuk melakukan pengecekan dan perbaikan, para teknisi dari pusat tidak lagi merespons ketika PLTS terpusat kembali mengalami kendala. Pada akhirnya, pengelolaan PLTS terpusat dilimpahkan sepenuhnya ke Pemerintah Desa Pekon.

Inisiatif pemerintah menyalurkan listrik melalui pemanfaatan energi terbarukan berbasis komunitas memang perlu diapresiasi.

Hanya saja, untuk mencapai demokrasi energi, beralih dari bahan bakar fosil ke energi yang lebih bersih, tidaklah cukup.

Penentuan jenis pembangkit berbasis komunitas yang mudah dan layak dioperasikan oleh masyarakat di masing-masing lokasi, harus menjadi pertimbangan.

Pemerintah perlu menyesuaikan potensi desa dengan mengikutsertakan berbagai faktor pendukung lain, seperti akses jalan, transportasi, jaringan telekomunikasi dan kemampuan sumber daya manusia setempat.

Faktor pendukung lain tersebut sangat penting untuk memastikan perawatan dan perbaikan dapat terus dilakukan jika terjadi kerusakan sistem pada pembangkit, sebagaimana yang terjadi di Way Haru.

Selain Way Haru, tiga desa lain di kecamatan yang sama yaitu Bandar Dalam, Siring Gading, dan Way Tias juga mengalami kasus serupa, PLTS terpusat rusak.

Kegagalan proyek PLTS terpusat di Way Haru dan di berbagai desa lainnya, menjadi pelajaran mengenai perlunya pelibatan dan komunikasi dengan masyarakat sebagai penerima manfaat.

Pelibatan itu, baik dalam proses pengambilan keputusan yang saat ini bersifat top-down, hingga perencanaan tata kelola yang belum matang dan kurang koordinasi antara pusat dengan pemerintah daerah, hingga desa.


Diversifikasi energi