Jakarta (ANTARA) - Babak baru penyaluran distribusi pupuk bersubsidi kini telah dimulai. Pemerintah kembali melakukan deregulasi dan debirokratisasi mengenai pupuk subsidi
Kementerian Koordinator bidang Pangan bersama Kementerian/Lembaga yang berada dalam lingkup koordinasinya, telah bersepakat untuk memangkas saluran distribusi pupuk subsidi yang dinilai sangat berbelir-belit.
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman menyatakan Peraturan Presiden (Perpres) baru pupuk subsidi kini telah terbit.
Dalam aturan baru itu, penyaluran pupuk subsidi ke petani tidak perlu lagi persetujuan pemerintah daerah. Nantinya, penyaluran pupuk subsidi hanya perlu persetujuan Kementerian Pertanian, dilanjutkan ke Pupuk Indonesia (PI), distributor, langsung ke petani.
Kebijakan pemerintah untuk memangkas saluran distribusi pupuk subsidi, sebetulnya sudah sejak lama diusulkan kepada pemerintah. Tapi, dalam praktiknya, belum terakomodir, padahal beberapa waktu sebelumnya, kendala di lapangan masih terjadi terkait ketersediaan pupuk.
Kemudian, saat Prabowo Subianto dilantik menjadi Presiden RI (2024-2029), dalam sebulan menjabat, para menteri yang tergabung dalam Kabinet Merah Putih, langsung membuat gebrakan-gebrakan.
Salah satunya, langkah dan terobosan cerdas para menteri/kepala badan yang bernaung di bawah koordinasi bidang pangan, melakukan pemangkasan saluran distribusi pupuk subsidi.
Jujur diakui, sudah sejak puluhan tahun lalu, kebijakan pupuk subsidi, kerap kali mengundang masalah dalam kehidupan para petani. Hampir setiap musim tanam tiba, petani hampir selalu mengeluhkan sulitnya memperoleh pupuk, khususnya pupuk subsidi. Kalau pun pupuk itu tersedia, ternyata harganya jauh di atas harga yang wajar.
Hadirnya Perpres baru terkait Pupuk Bersubsidi, diharapkan mampu membawa perubahan signifikan bagi perjalanan dan perkembangan kebijakan pupuk bersubsidi di negeri ini.
Yang petani harapkan, sebetulnya tidak macam-macam. Petani sebenarnya hanya ingin, agar saat musim tanam tiba, pupuk bersubsidi tidak langka, apalagi menghilang dari peredaran.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengakui, peran pupuk dalam meningkatkan produksi dan produktivitas, sangat menentukan.
Salah satu penyebab utama turunnya produksi beras di akhir tahun 2023, dinilai karena kurang tersedianya pupuk yang dibutuhkan petani. Hal ini wajar, karena hanya dengan jumlah kuota 4,7 juta ton pupuk, sangat mustahil akan mencukupi kebutuhan para petani.
Sadar akan hal demikian, mulai tahun 2024, pemerintah menambah jumlah alokasi pupuk bersubsidi 2 kali lipat dari jumlah yang berjalan saat ini, yakni menjadi 9,55 juta ton.
Penambahan ini tentu menjadi angin segar bagi para petani di seluruh Indonesia. Akan tetapi, peningkatan kuota saja tidak cukup.
Harus ada jaminan bahwa pupuk tersebut benar-benar sampai ke tangan petani secara tepat waktu dan dalam jumlah yang sesuai. Tanpa sistem distribusi yang efisien dan data penerima yang valid, pupuk berisiko kembali tertahan di tengah jalan atau bahkan, disalahgunakan.
Syarat kurang
Persoalan lain muncul ketika, sekali pun jumlah pupuk sudah ditambahkan, keluhan petani terkait dengan langkanya pupuk bersubsidi, masih saja terdengar. Suara itu tetap terdengar nyaring dari berbagai daerah.
Pertanyaan kritisnya adalah mengapa petani masih mengeluh kelangkaan pupuk, padahal jumlah alokasinya telah ditambah 2 kali lipat? Ada apa sebenarnya dengan kebijakan pupuk bersubsidi ini?
Apakah memang pupuknya kurang atau pupuknya belum sampai ke petani, mengingat begitu rumitnya saluran distribusi pupuk bersubsidi yang ada?
Selidik punya selidik, ternyata salah satu faktor penyebab terjadinya kelangkaan pupuk bersubsidi, karena memang pupuknya belum sampai ke petani.
Alasannya, karena persyaratan mengirim pupuknya yang belum lengkap. Pengakuan beberapa kepala desa, hal ini terjadi karena persyaratannya belum diteken bupati, mengingat kesibukan di daerah saat menghadapi pilkada.
Bayangkan, hampir satu tahun waktu berjalan, proses pengiriman pupuk belum berlangsung, karena hanya satu kekurangan, yakni tanda tangan bupati setempat.
Hanya kurang satu tanda tangan saja, maka berapa banyak petani yang dirugikan? Berapa banyak petani yang gagal meningkatkan produksi dan produktiviras karena kekurangan pupuk? Lebih memprihatinkan lagi, hal semacam ini rupanya sudah begitu sering terjadi.
Banyak yang belum sepenuhnya yakin dengan pasti, apakah setelah pemangkasan saluran distribusi pupuk bersubsidi dengan bertumpu pada Kementerian Pertanian, PT Pupuk Indonesia, distributor dan langsung ke petani, masalah kelangkaan pupuk bersubsidi saat musim tanam tiba akan terselesaikan?
Atau masih saja akan terdengar keluhan petani yang sama, sebelum dilakukan pemangkasan regulasi?
Jawabannya, tentu belum dapat disampaikan sekarang. Hanya kalau mau berterus-terang, selama data petani penerima subsidi masih belum rapi dan akurat, boleh jadi masalahnya sulit untuk berubah.
Tugas semua sekarang adalah mengawal, sampai sejauh mana BPS dan Kementerian Pertanian mampu menyajikan data yang akurat dan berkualitas.
Data memang menjadi faktor penentu segalanya. Banyak kebijakan dan program pembangunan yang gagal, karena data yang tidak tersedia atau tidak valid.
Terlebih jika petugas di lapangan tidak melakukan check and balance dengan kondisi konkret. Maka itulah, pentingnya penelaahan langsung ke lapangan.
Kalau tata kelola pupuk bersubsidi ingin berbeda dengan masa lalu, maka segeralah lakukan pendataan ulang yang baik dan benar.
Dengan demikian dapat ditegaskan, pemangkasan saluran distribusi pupuk bersubsidi yang dilakukan, tidak akan membawa perubahan yang berarti, jika tidak dilakukan pemutakhiran data menuju data yang lebih berkualitas.
*) Entang Sastraatmadja adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat
Editor: Masuki M Astro

Mengukur efektivitas Perpres Nomor 6 Tahun 2025 tentang pupuk bersubsidi


Petani menabur pupuk urea ke arah tanaman padi miliknya di di area pertanian Desa Serut, Tulungagung, Jawa Timur, Minggu (18/5/2025). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko