Feature - Penetapan batas laut RI-Australia menggunakan garis tengah

id Gregor

Feature - Penetapan batas laut RI-Australia menggunakan garis tengah

Antropolog Budaya dari Unwira Kupang Pater Gregor Neonbasu SVD, PhD (ANTARA Foto/Aloysius Lewokeda)

Mencermati berbagai persoalan yang melingkari tersebut maka penetapan batas wilayah perairan RI-Australia di Laut Timor dan Arafura harus menggunakan median line dengan mengacu pada Konvensi PBB tentang UNCLOS 1982.
Kupang (AntaraNews NTT) - Ketika Timor Timur resmi berdiri menjadi sebuah negara merdeka dan berdaulat pada 20 Mei 2002 setelah meraihnya dalam sebuah referendum pada 30 Agustus 1999, perjanjian kerja sama antara Indonesia-Australia di Laut Timor, hilang dengan sendirinya.

Hal itu terekam dalam TAP MPR V/MPR 1999 yang isinya menerima hasil jajak pendapat di Timor Timur, sekaligus mencabut TAP MPR VI/MPR/1978 tentang Integrasi Timor Timur ke Dalam Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kondisi tersebut diperkuat pula dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1272 tanggal 25 Oktober 1999, dimana Timor Timur berada di bawah administrasi PBB (United Nations Transitional Administration on East Timor/UNTAET). Dan, secara yuridis, kedaulatan dan kewenangan Indonesia atas Timor Timur dianggap telah berakhir.

Sejak saat itu, hilanglah segala-gala termasuk kekayaan minyak dan gas bumi (migas) di Laut Timor. "Tapi, masih ada lorong diplomasi bagi Indonesia untuk merundingkan kembali di meja perundingan," kata Ketua Dewan Riset Daerah Nusa Tenggara Timur Pater Gregorius Neonbasu SVD.

Jika tidak ada kesepakatan untuk merevisi kembali perjanjian-perjanjian dibuat pada tahun 1972, 1974, 1999, maka secara hukum, Indonesia dapat mengambil inisiatif untuk merundingkan kembali secara trilateral dengan melibatkan Timor Timur sebagai negara baru di bawah pengawasan PBB untuk mencari kebenaran.

Dalam pandangan Pater Gregor yang juga antropolog budaya dari Universitas Katolik Widya Mandiri (Unwira) Kupang itu, yang berhak mengolah kandungan Laut Timor adalah Indonesia dan Timor Leste, bukan Australia meski kekayaan yang terkandung dalam Laut Timor sebagian besarnya dinikmati oleh negeri Kanguru itu.

Namun, Australia sendiri telah melakukan identifikasi yang keliru mengenai keberadaan Palung Timor yang bukan sebuah parit raksasa yang memisahkan lempeng Laut Timor dan lempeng Benua Australia secara terpisah.

Palung Timor merupakan sebuah belahan biasa-bagai kubangan-yang berada di atas lempengan besar, yang itulah kontinen Australia yang di atasnya terletak Pulau Timor dan Benua Australia.

Baca juga: Montara Task Force ambilalih pencemaran Laut Timor
Baca juga: Film Pencemaran Laut Timor mendunia


Dari kecenderungan aliran minyak yang ada di atas daratan, dan berdasarkan bukti-bukti di Timor Barat (Masin Lulik, Niola, Kolbano) dan Timor Timur (Laclubar, Ailiambata) maka hampir pasti bahwa Australia tidak mempunyai kepentingan dalam proses ekspolitasi potensi minyak di Celah Timor.

"Tergantung sekarang pembuktian ilmiah dari proses penelitian geologik yang dapat dipertanggungjawabkan. Sangat bagus, apabila berbagai kegiatan di sekitar Laut Timor dihentikan sementara, sampai tercapainya bukti-bukti yang dapat diterima secara ilmiah," ujar rohaniawan Katolik itu.

Pemerhati masalah Laut Timor Ferdi Tanoni melihat Indonesia terlalu memanjakan Australia terkait penetapan batas wilayah perairan kedua negara di Laut Timor dan Arafura secara permanen sehingga terus menjadi sebuah perdebatan yang tak berkesudahan.

Garis tengah
Ferdi Tanoni saat berdialog dengan masyarakat nelayan di Desa Tablolong, Kupang Barat, Kabupaten Kupang, NTT (ANTARA Foto/Laurensius Molan)

Tanoni yang juga pengemban mandat hak ulayat masyarakat adat di Laut Timor itu berpendapat penetapan batas wilayah perairan di Laut Timor dan Arafura antara Indonesia dan Australia harus menggunakan median line atau garis tengah sebagai penentunya.

Dengan demikian maka seluruh Perjanjian RI-Australia yang pernah dibuat antara tahun 1971-1997 wajib dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste.

"Saya tidak sependapat dengan apa yang dikatakan Menlu Australia Julie Isabel Bishop soal penetapan batas Laut Timor," katanya.

Dalam pernyataannya di harian The Syndey Morning Herald, Kamis (15/3), Julie Bishop menyatakan Australia tidak bersedia untuk merundingkan kembali seluruh batas perairannya yang telah dibuat dengan Indonesia.

Sedang, dalam pernyataan di harian The Australian, Senin (19/3), Julie Bishop dan Damos Agusman, Direktur Jenderal Perjanjian Hukum Internasional Kemlu RI menyatakan bahwa Australia dan Indonesia hanya menyepakati untuk melihat kembali hal-hal teknis saja dalam perjanjian RI-Australia yang dibuat tahun 1997 di Perth yang belum diratifikasi tersebut.

Baca juga: Batalkan Seluruh Perjanjian di Laut Timor
Baca juga: Pemerintah Harus Tegas Soal Pencemaran Laut Timor


"Jika batas perairan Australia dan Selandia Baru serta Australia dan Timor Leste menggunakan prinsip median line, kenapa hal itu tidak berlaku dalam penetapan batas perairan antara Australia dan Indonesia di Laut Timor. Ada apa," kata Tanoni dalam nada tanya.

Mantan agen imigrasi Australia ini kemudian meminta Indonesia untuk tidak memanjakan Australia secara terus-menerus, karena hanya akan memarjinalkan bangsa dan rakyat Indonesia ini sepanjang masa.
Ferdi Tanoni
Atas dasar itu, seluruh perjanjian dan MoU batas perairan RI-Australia tanpa pengecualian termasuk perjanjian kerja sama perikanan di Laut Timor dan Laut Arafura haruslah dibatalkan dan dirundingkan kembali secara trilateral bersama Timor Leste.

Hal inilah yang tampaknya harus dilakukan sebagai sebuah konsekuensi terjadinya perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya sebuah negara baru bernama Timor Leste.

Rakyat Indonesia di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur tampaknya mengetahui persis sebagaimana juga yang diketahui Kementerian Luar Negeri Australia bahwa dalam pembuatan perjanjian RI-Australia tahun 1972 tersebut Indonesia telah diperdaya Australia.

Australia dinilainya secara licik menyatakan bahwa ujung batas utara landas kontinen Australia terletak di Celah Timor, dengan demikian Australia menguasai hampir seluruh kekayaan yang berada di Laut Timor.

Padahal, berdasarkan fakta geologi dan geomorfologi Benua Australia dan Pulau Timor berada di dalam satu landas kontinen, yakni landas kontinen Australia sehingga yang harus digunakan dalam penentuan batas wilayah perairan RI-Australia adalah dengan menggunakan garis tengah (median line).

Tanoni juga melihat bahwa perjanjian RI-Australia 1997 yang dibuat atas inisiatif Australia itu hanya untuk menguasai kawasan Selatan Indonesia termasuk gugusan Pulau Pasir yang sangat kaya akan bahan mineral.

Sebab, Australia menyadari penguasaan Gugusan Pulau Pasir dengan hanya bermodalkan MoU 1974 tentang hak-hak nelayan tradisional yang ditandatangani oleh dua pejabat tingkat rendahan dari Kementerian Luar Negeri RI dan Kementerian Pertanian RI itu sangatlah lemah jika kemudian hari timbul permasalahan.

Disinilah tampak letak persoalannya, sehingga perjanjian yang dibuat curang itu hanya menjadi tameng bagi Australia untuk memberangus ribuan perahu nelayan tradisional dengan alasan melanggar teritori mereka, serta mengeruk kekayaan mineral yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun untuk kepentingan nasionalnya.

Atas dasar itu, Tanoni mendesak Kementerian Luar Negeri Indonesia agar dalam melakukan berbagai perundingan atau pembicaraan dengan Australia haruslah melibat Pemerintah Daerah dan DPRD Provinsi/kabupaten-kota di NTT dan tokoh masyarakat termasuk tokoh masyarakat adat yang ada di daerah ini.

UNCLOS 1982
Dalam pandangan Pater Gregor, eksistensi daerah harus dihargai dan dilihat sebagai kepentingan bangsa dan negara. Karena itu tata kalimat dan pikiran atau mindset para diplomat, termasuk para juru runding/negosiator harus mengabdi pada kepentingan masyarakat di daerah sebagai bagian integral dari bangsa dan negara.

Atas dasar itu, penetapan batas wilayah perairan di Laut Timor dan Arafura antara Indonesia-Australia harus mengacu pada Konvensi PBB mengenai Hukum Laut Internasional atau UNCLOS (United Nation Convention on the Law of the Sea) 1982.

Baca juga: Gugatan Terhadap Pencemar Laut Timor Salah Alamat
Baca juga: Mengungkap Kembali Tragedi Pencemaran Laut Timor
Peta Perjanjian landas kontinen RI-Ausralia 1972, Perjanjian Perikanan 1981 dan ZEE 1997 (belum diratifikasi). (ANTARA Foto/dok)
UNCLOS 1982 ini memuat berbagai kawasan seperti perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen.

Perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial merupakan contoh wilayah kedaulatan sebuah negara merdeka. Sedang, Zona tambahan, ZEE dan Landas Kontinen bukan merupakan wilayah negara melainkan hanya kawasan pengelolaan terbatas yang berdasar pada besar kecilnya sumber daya alam di wilayah tersebut.

Berdasarkan Pasal 76 UNCLOS 1982, Landas Kontinen suatu negara pantai adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang merupakan kelanjutan daratan wilayahnya sampai jarak 200 mil laut dari garis dasar. Namun, dalam hal tertentu perhitungan dapat ditoleransi sampai batas 350 mil, tergantung dari jarak tepian kontinennya.

Selain itu, terdapat titik-titik yang bersinggungan dengan tiga negara (three junction point) secara langsung, yang membuka peluang bagi perundingan trilateral, seperti Junction Point antara Indonesia, India dan Thailand di Laut Andaman, serta Three Junction Point antara Indonesia, Thailand dan Malaysia di Selat Malaka bagian utara.

Dalam pengamatan Pater Gregor, sesungguhnya Palung Timor itu hanyalah sebuah parit yang tidak mengganggu letak Pulat Timor dan Australia dalam lempeng yang sama, yakni Kontinen Australia, sehingga kebijakan untuk membagi ZEE ke dalam bagian A, B dan C, itu justru sangat keliru.

Mencermati berbagai persoalan yang melingkari tersebut maka penetapan batas wilayah perairan RI-Australia di Laut Timor dan Arafura harus menggunakan median line dengan mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional atau lebih populer dengan sebutan UNCLOS 1982.