Di antara berbagai faktor pertumbuhan ekonomi, dua yang paling utama adalah konsumsi rumah tangga dan investasi. Keduanya berkontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB), yang masing-masing andil sebesar setengah dan hampir sepertiga porsi. Akan tetapi, baik konsumsi maupun investasi menghadapi tantangan di tengah perkembangan ekonomi beberapa waktu belakangan.
Tantangan konsumsi rumah tangga tak terlepas dari isu yang cukup panas dibicarakan: pelemahan daya beli masyarakat. Sinyal pelemahan ini makin kuat usai laporan Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan terjadi deflasi beruntun sejak Mei 2024.
Deflasi memang bisa mengindikasikan tercukupinya pasokan sehingga harga terkendali. Namun, bila terjadi secara berturut-turut, ada kekhawatiran deflasi terjadi akibat ketidakmampuan masyarakat menjangkau harga pasar.
Indikasi lainnya tercermin dari penurunan kelas menengah (middle class). Dalam 5 tahun terakhir, jumlah kelompok ini turun sebanyak 9,48 juta orang.
Penentuan kelompok kelas mempertimbangkan pengeluaran per kapita per bulan. Kelas menengah berarti mencakup masyarakat yang membelanjakan uang sebanyak Rp2,04 juta hingga Rp9,91 juta per bulan untuk memenuhi kebutuhannya. Sementara kelas di bawahnya, yakni menuju kelas menengah (aspiring middle class), rentang belanjanya berada di kisaran Rp874 ribu hingga Rp2,04 juta per bulan.
Artinya, sebanyak 9,48 juta orang mengalami penurunan kemampuan belanja.
Yang menjadi persoalan, pelemahan daya beli masyarakat dapat menciptakan efek domino pada rantai perekonomian. Ketidakberdayaan masyarakat dalam berbelanja akan membuat permintaan melemah, yang kemudian berdampak pada aktivitas industri. Lesunya industri berpotensi menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Produksi yang turun menyebabkan pasokan terbatas sehingga memicu inflasi. Sementara menganggur dan harga barang yang tinggi akan makin menekan daya beli.
Kerentanan ekonomi pada akhirnya juga akan berefek terhadap investasi, ketika investor bisa jadi ragu untuk menanamkan modal di Indonesia.
Dari segi daya saing, Indonesia telah berhasil meningkatkan posisi dalam peringkat International Institute for Management Development (IMD). Indonesia sebelumnya berada di peringkat 34 dari 67, kemudian naik signifikan ke posisi 27.
Namun, secara kawasan, Indonesia masih kalah dengan Singapura (1) dan Thailand (25). Sejumlah investasi besar pun diambil oleh negara tetangga, Malaysia. Contohnya, investasi raksasa teknologi Apple dan Tesla.
Selain kondisi ekonomi yang telah dipaparkan sebelumnya, pemicu lain yang menentukan ketertarikan investor dalam menentukan tujuan investasi adalah alur birokrasi dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Sejumlah ekonom mengamini dua faktor ini masih menjadi penghambat aliran investasi dalam negeri.
Tantangan itu tercermin pada realisasi investasi periode Januari hingga September. Terjadi perlambatan sekitar 10,1 persen untuk penanaman modal dalam negeri (PMDN) dan 12 persen untuk penanaman modal asing (PMA) antara realisasi tahun lalu dengan tahun ini (year-on-year/yoy).
Walhasil, Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia berada pada level yang cukup tinggi, yakni level 6.
ICOR adalah nisbah yang menunjukkan efisiensi investasi suatu negara dalam menghasilkan output ekonomi, di mana makin rendah nilainya menunjukkan investasi yang makin efisien. Dengan nilai ICOR 6, maka bisa dibilang investasi yang dilakukan di Indonesia belum teroptimalkan untuk menopang pertumbuhan ekonomi.
Celah pertumbuhan