Artikel - Bayang-bayang kiamat Romo Martin kala erupsi Lewotobi
...Kita juga berpikir, apakah ini akhir dari hidup kita, kata Romo Martin
Listrik padam, kilat menyambar, hingga gemuruh yang terdengar dari arah Gunung Lewotobi Laki-laki mengubah suasana damai dan temaram bangunan bernuansa kolonial tersebut menjadi ramai dan mencekam. Hingga akhirnya pada pukul 23.57 WITA, suara dentuman keras terdengar dari arah gunung berapi tersebut.
Mendengar dentuman itu, Romo Martin sejenak menghentikan jari-jemarinya kala mengetikkan kalimat demi kalimat di atas papan kunci. Tidak lama kemudian, ia menyadari ada suatu yang tidak beres.
"Blaaar", terdengar suara plafon yang runtuh. Suara itu juga diikuti suara "klutuk-klutuk". Sontak, Romo Martin bersembunyi di kolong meja, sembari sesekali mengintip apa gerangan yang terjadi.
Tidak lama kemudian, barulah ia sadar bahwa suara tersebut ditimbulkan oleh batu yang berjatuhan di atas sekolah yang memiliki luas lahan hingga 12 hektare tersebut.
Pada saat itulah, Romo Martin tidak menyangka bahwa dirinya akan mengalami kejadian ini dalam hidupnya. Gelap, mencekam, diselingi suara petir yang bergemuruh, serta dihujani batu berselimut api yang bergelora.
"Kami juga berpikir, apakah ini akhir dari hidup kami? Aeperti itu. Tapi, berhadapan dengan situasi ini dan anak-anak kami, kami juga tidak boleh memikirkan diri kita sendiri, kita juga harus ingat kalau kita juga mengurus orang lain," katanya mengungkapkan perasaannya, saat menghadapi hal tersebut.
Oleh sebab itu, Romo Martin memutuskan untuk melupakan bayang-bayang kiamatnya, demi menyelamatkan seluruh umat di sekolah yang telah berdiri lebih dari 70 tahun lamanya itu.
Seketika suasana sudah mulai kondusif, ia bersama dengan para calon imam atau frater di seminari itu bergegas mengevakuasi para siswa, guru, dan seluruh karyawannya ke dalam kapel.
Evakuasi berjalan cepat, sebab seluruhnya telah mengetahui ke mana mereka harus pergi saat berada dalam kondisi gawat darurat, sebagaimana frasa keyakinan yang dipercayainya, "extra Ecclesiam nulla salus", yang berarti "di luar gereja tidak ada keselamatan" atau "tidak ada keselamatan di luar gereja".
Memang, bangunan kapel tersebut terlihat sebagai bangunan paling kokoh di kompleks seminari tersebut. Hal ini terlihat dari struktur bangunannya, yang dilengkapi dengan fondasi batu alam yang identik dengan nuansa kolonial.
Tak lama berselang, seluruh warga seminari terevakuasi, beberapa di antaranya ada yang tertimpa batu, terkena luka bakar, dan berbagai cedera kecil lainnya.
Romo Martin bergegas memimpin doa bersama, sebagai upaya untuk menenangkan seluruh keluarga Seminari San Dominggo, sembari beberapa orang yang terluka mendapatkan pertolongan pertama dari sebagian yang lainnya.
Hingga sekitar pukul 04.00 WITA, bantuan dari otoritas setempat datang untuk mengevakuasi seluruh orang di seminari tersebut.
Seluruh siswa, guru, dan karyawan dievakuasi ke tempat yang lebih aman, sementara Romo Martin memutuskan untuk menetap, demi melaksanakan amanat dan tugas moral yang diembannya.
Pada kejadian tersebut, seluruhnya selamat, namun tidak seberuntung keluarga Seminari San Dominggo. Sebanyak 10 orang warga sekitar menjadi korban muntahan batu pijar gunung Lewotobi Laki-laki.
Romo Martin secara arif menyampaikan bahwa ini semua merupakan kekuasaan Tuhan, di mana mereka yang tidak selamat bukan berarti bahwa mereka penuh dosa dan layak untuk dicelakakan.
"Mereka meninggal, ini cara Tuhan ambil mereka. Kita masih hidup, berarti Tuhan beri kesempatan untuk kita hidup untuk selalu berbuat baik," ucap Romo Martin, mengambil hikmah dari bayang-bayang kiamatnya.
Kata ahli
Mendengar dentuman itu, Romo Martin sejenak menghentikan jari-jemarinya kala mengetikkan kalimat demi kalimat di atas papan kunci. Tidak lama kemudian, ia menyadari ada suatu yang tidak beres.
"Blaaar", terdengar suara plafon yang runtuh. Suara itu juga diikuti suara "klutuk-klutuk". Sontak, Romo Martin bersembunyi di kolong meja, sembari sesekali mengintip apa gerangan yang terjadi.
Tidak lama kemudian, barulah ia sadar bahwa suara tersebut ditimbulkan oleh batu yang berjatuhan di atas sekolah yang memiliki luas lahan hingga 12 hektare tersebut.
Pada saat itulah, Romo Martin tidak menyangka bahwa dirinya akan mengalami kejadian ini dalam hidupnya. Gelap, mencekam, diselingi suara petir yang bergemuruh, serta dihujani batu berselimut api yang bergelora.
"Kami juga berpikir, apakah ini akhir dari hidup kami? Aeperti itu. Tapi, berhadapan dengan situasi ini dan anak-anak kami, kami juga tidak boleh memikirkan diri kita sendiri, kita juga harus ingat kalau kita juga mengurus orang lain," katanya mengungkapkan perasaannya, saat menghadapi hal tersebut.
Oleh sebab itu, Romo Martin memutuskan untuk melupakan bayang-bayang kiamatnya, demi menyelamatkan seluruh umat di sekolah yang telah berdiri lebih dari 70 tahun lamanya itu.
Seketika suasana sudah mulai kondusif, ia bersama dengan para calon imam atau frater di seminari itu bergegas mengevakuasi para siswa, guru, dan seluruh karyawannya ke dalam kapel.
Evakuasi berjalan cepat, sebab seluruhnya telah mengetahui ke mana mereka harus pergi saat berada dalam kondisi gawat darurat, sebagaimana frasa keyakinan yang dipercayainya, "extra Ecclesiam nulla salus", yang berarti "di luar gereja tidak ada keselamatan" atau "tidak ada keselamatan di luar gereja".
Memang, bangunan kapel tersebut terlihat sebagai bangunan paling kokoh di kompleks seminari tersebut. Hal ini terlihat dari struktur bangunannya, yang dilengkapi dengan fondasi batu alam yang identik dengan nuansa kolonial.
Tak lama berselang, seluruh warga seminari terevakuasi, beberapa di antaranya ada yang tertimpa batu, terkena luka bakar, dan berbagai cedera kecil lainnya.
Romo Martin bergegas memimpin doa bersama, sebagai upaya untuk menenangkan seluruh keluarga Seminari San Dominggo, sembari beberapa orang yang terluka mendapatkan pertolongan pertama dari sebagian yang lainnya.
Hingga sekitar pukul 04.00 WITA, bantuan dari otoritas setempat datang untuk mengevakuasi seluruh orang di seminari tersebut.
Seluruh siswa, guru, dan karyawan dievakuasi ke tempat yang lebih aman, sementara Romo Martin memutuskan untuk menetap, demi melaksanakan amanat dan tugas moral yang diembannya.
Pada kejadian tersebut, seluruhnya selamat, namun tidak seberuntung keluarga Seminari San Dominggo. Sebanyak 10 orang warga sekitar menjadi korban muntahan batu pijar gunung Lewotobi Laki-laki.
Romo Martin secara arif menyampaikan bahwa ini semua merupakan kekuasaan Tuhan, di mana mereka yang tidak selamat bukan berarti bahwa mereka penuh dosa dan layak untuk dicelakakan.
"Mereka meninggal, ini cara Tuhan ambil mereka. Kita masih hidup, berarti Tuhan beri kesempatan untuk kita hidup untuk selalu berbuat baik," ucap Romo Martin, mengambil hikmah dari bayang-bayang kiamatnya.
Kata ahli