Jakarta (ANTARA) - Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai Timur Tengah bisa menjadi alternatif kerja sama transisi energi untuk meredam efek keluarnya Amerika Serikat (AS) dari Perjanjian Paris/Paris Agreement.
“Indonesia harus mencari partner baru untuk mendorong kerja sama transisi energi, salah satunya Timur Tengah,” kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Rabu, (22/1).
Menurut dia, Timur Tengah adalah mitra yang potensial dan telah terbukti mendukung pembangunan di Indonesia, salah satunya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Waduk Cirata, Jawa Barat, yang merupakan hasil kerja sama dengan Uni Emirat Arab (UEA).
Selain merupakan proyek besar, PLTS itu juga direncanakan untuk diekspansi.
Bhima menambahkan dampak dari keputusan Presiden AS Donald Trump untuk keluar dari Perjanjian Paris cukup signifikan bagi Indonesia, terutama dari segi komitmen pendanaan transisi energi.
Salah satu risiko terbesar adalah Kemitraan Transisi Energi yang Berkeadilan (Just Energy Transition Partnership/JETP) di Indonesia yang terancam, mengingat AS merupakan pemimpin dari kemitraan itu.
Sementara Indonesia tengah membutuhkan anggaran besar untuk membangun pembangkit energi terbarukan dan mempercepat penghentian PLTU batu bara sebagai bagian dari komitmen Presiden Prabowo Subianto di G20.
Bila JETP tidak berjalan, Indonesia berpotensi kehilangan salah satu pinjaman atau donor terbesar di bidang transisi energi. Hal ini juga akan mengancam proyek-proyek yang sedang berjalan atau yang tengah didanai oleh AS.
Di sisi lain, keluarnya AS dari Perjanjian Paris juga bisa berdampak terhadap upaya percepatan elektrifikasi di sektor transportasi. Efeknya, Indonesia harus bersiap-siap menghadapi gejolak harga nikel dan baterai di pasar internasional.
“Padahal, Indonesia sedang mendorong agar nikel dan berbagai barang mineral dari proses hilirisasi bisa masuk ke rantai pasok global, khususnya ke pasar Amerika Serikat. Tapi, dengan Trump yang mendorong produksi migas domestik, ini menjadi ancaman serius bagi masa depan ekspor nikel Indonesia,” ujarnya lagi.
Oleh karena itu, untuk memitigasi keluarnya AS dari Perjanjian Paris, dia menyarankan agar Indonesia segera melakukan pembatasan produksi bijih nikel dan menghentikan pembangunan smelter baru. Dengan cara ini, diharapkan harga nikel internasional tetap stabil hingga 2025.
“Karena jika Indonesia oversupply nikel, sementara Amerika Serikat mengurangi permintaan, ini akan berdampak buruk terhadap harga jual nikel olahan di pasar internasional,” katanya pula.
Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa AS akan menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris 2016 karena menganggap perjanjian tersebut tidak adil dan berat sebelah.
Perjanjian Paris tentang perubahan iklim diadopsi pada tahun 2015 oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Tujuannya adalah untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global hingga jauh di bawah 2 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celsius.
Baca juga: Kemitraan GIZ dan TransitonZero percepat transisi energi di Indonesia
Baca juga: Artikel - Menyeimbangkan antara pemajuan ekonomi dan transisi energi
Baca juga: PLN galang kolaborasi global untuk transisi energi menuju swasembada energi berkelanjutan