Kupang (ANTARA) - Kabupaten Lembata salah satu di antara 11 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang hingga akhir Juni ini masih bebas dari kasus virus corona jenis baru (COVID-19).
Lembata dengan ibu kota Lewoleba itu, berada di sebelah timur Selat Boleng dan Lamakera, Flores Timur, di selatan laut Flores dan utara Laut Sawu.
Luas wilayah yang dimekarkan dari kabupaten induk Flores Timur itu mencapai 1.266,40 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 134.573 jiwa (data 2017). Wilayah administrasi Kabupaten Lembata meliputi sembilan kecamatan, tujuh kelurahan, dan 144 desa.
Sejak merebak kasus COVID-19, Pemerintahan Kabupaten Lembata yang dipimpin Bupati Eliaser Yentji Sunur dan wakilnya, Thomas Ola Langoday, menerapkan kebijakan cukup ketat, untuk mencegah masuknya virus tersebut ke wilayah setempat.
Pada awal Maret 2020 misalnya, Pemerintah Kabupaten Lembata melarang kapal pesiar MV Coral Adventurer dari Australia membawa ratusan wisatawan, berlabuh di pelabuhan setempat, karena khawatir bisa membawa masuk virus ke daerah itu.
Kebijakan pemerintah daerah itu dengan alasan fasilitas kesehatan yang dimiliki daerah setempat yang minim dan sulit mendeteksi apakah penumpang kapal pesiar tersebut bebas virus atau tidak.
Normal baru
Kebijakan terbaru yang cukup kontroversial di masa normal baru adalah, tetap menerapkan pemeriksaan kesehatan berupa tes cepat (rapid test) bagi pelaku perjalanan dalam wilayah NTT yang tiba di daerah itu.
Kebijakan itu dinilai bertentangan dengan Surat Edaran Gubernur NTT yang menyatakan pelaku perjalanan dalam wilayah NTT tak perlu tes cepat di masa normal baru yang mulai diterapkan sejak 15 Juni 2020.
Baca juga: Sikka siapkan peralatan untuk pemeriksaan COVID-19
Baca juga: Semboyan Taan Tou jaga Lembata bebas kasus COVID-19
Bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur mengatakan semua langkah yang diambil Pemerintah Kabupaten Lembata didukung forum komunikasi pimpinan daerah (forkopimda) dalam rangka memberikan perlindungan bagi warganya.
Surat edaran itu, dinilai ada ruang untuk penyesuaian dengan kondisi daerah setempat.
Keputusan yang diambil forkopimda setempat, yakni tetap menjalankan edaran Gubernur NTT dengan beberapa batasan-batasan, di mana akan dilihat kembali eskalasinya, seperti dari ketentuan sebelumnya tes cepat dua kali mungkin akan dikurangi hanya satu kali saja.
Tetapi, ucap dia, pada prinsipnya tes cepat tetap menjadi syarat bagi pelaku perjalanan, dan mungkin dapat dilakukan di Lembata.
"Kami masih sementara pikirkan apakah tes cepat nanti digratiskan atau berbayar dengan setengah harga, sambil kita lihat ketersediaan 'rapid test' (tes cepat) di sini," katanya.
Dia menjelaskan dalam surat edaran Gubernur tersebut terdapat frasa "dapat" yang menyebabkan multitafsir, tergantung kebijakan lokal daerah.
Surat gubernur tetap dipakai namun dengan batasan tertentu karena tidak ada yang dapat memberikan jaminan kepastian bahwa pelaku perjalanan hanya datang dari dalam wilayah NTT.
Oleh karena itu, langkah yang diambil dengan syarat tes cepat bagi pendatang untuk memastikan semua pelaku perjalanan terproteksi.
Masyarakat diharapkan tidak mementingkan diri sendiri, namun juga memikirkan kepentingan orang lain.
"Pemerintah melihat dari seluruh sisi demi kepentingan semua masyarakat, karena jika terjadi persoalan maka tentu pemerintah yang bertanggung jawab," katanya.
Anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur Viktor Mado Watun mengatakan perlu ada kesamaan regulasi yang mengatur pelaku perjalanan dalam wilayah NTT, antara Pemerintah Provinsi NTT dengan pemerintah kabupaten/kota sehingga tidak merugikan rakyat.
Oleh karena regulasi yang mengatur pelaku perjalanan dalam wilayah NTT sudah dikeluarkan gubernur, Pemerintah Kabupaten Lembata seharusnya mengikuti regulasi yang ada.
"Tidak perlu membuat regulasi sendiri supaya masyarakat tidak dirugikan," tambah dia.
Mado Watun yang juga mantan Wakil Bupati Lembata itu, menambahkan Pemerintah Kabupaten Lembata juga seharusnya melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi dalam membuat kebijakan supaya masyarakat tidak dirugikan.
"Warga dari Kupang yang hendak ke Lembata misalnya, apakah setelah mereka tiba di pelabuhan lalu disuruh kembali ke Kupang untuk mengurus tes cepat," kata anggota DPRD dari Fraksi PDI Perjuangan itu dalam nada tanya.
Anggota Komisi V DPRD NTT Emanuel Kolfidus mengatakan sejak awal telah mengingatkan Pemerintah Provinsi NTT untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota sebelum menerapkan normal baru.
Baca juga: Artikel - Menyoal praktik kawin tangkap di Pulau Sumba
Koordinasi itu sebagai hal penting, agar ada kesamaan pandangan tentang kebijakan di masa normal baru, sehingga tidak merugikan rakyat kecil.
Kepala Dinas Perhubungan Nusa Tenggara Timur Isyak Nuka mengakui ada kabupaten di NTT yang tidak menaati kebijakan bebas syarat tes cepat bagi pelaku perjalanan.
Dia mengatakan telah minta agar pemerintah kabupaten/kota se-NTT menaati kebijakan bebas syarat tes cepat bagi pelaku perjalanan di dalam wilayah NTT pada masa normal baru.
"Dengan adanya surat edaran gubernur terkait bebas tes cepat untuk semua pelaku perjalanan di dalam wilayah NTT ini, maka marilah kita semua, terutama masing-masing pemda se-NTT agar menaati bersama," katanya menambahkan.
Namun, Pemerintah Kabupaten Lembata tetap bersikukuh dan tetap menerapkan aturan bagi pelaku perjalanan, seperti sebelum penerapan normal baru di NTT.
Bahkan, hingga saat ini akses transportasi laut dari dan ke wilayah itu belum dibuka dengan alasan untuk mencegah masuknya COVID-19
"Ta'an Tou"
Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday menambahkan sejak munculnya virus corona, Pemerintah Kabupaten Lembata menerapkan semboyan bersatu atau dalam bahasa Lamaholot ,"Ta'an Tou", untuk menjaga wilayah itu tetap bebas dari kasus COVID-19.
Semboyan Lembata "Ta'an Tou" mengisyaratkan semua komponen masyarakat setempat bersatu dan bersahabat dengan COVID-19.
Upaya yang dilakukan pemerintah membangun pemahaman yang sama, di antara semua komponen masyarakat, anggota forum komunikasi pimpinan daerah, dan masyarakat Lembata yang berada di luar daerah itu.
Artinya, harus ada pemahaman yang baik bahwa virus corona jenis baru itu hanya bisa masuk Lembata kalau dibawa orang dari luar daerah.
Oleh karena itu, pencegahan yang dilakukan pemerintah adalah orang Lembata dan semua mereka yang berkeinginan ke Lembata selama pandemi COVID-19, menahan diri untuk tidak kembali dulu ke Lembata.
Jika terpaksa ada warga yang harus ke Lembata, kata mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang itu, harus memenuhi protokol kesehatan secara ketat, di antaranya menunjukkan hasil negatif tes usap atau nonreaktif tes cepat, wajib menggunakan masker, bersedia di karantina terpusat oleh Pemerintah Kabupaten Lembata, pemerintah desa, atau karantina mandiri.
Selain, harus ada kepala desa atau lurah yang bertanggung jawab selama berada di Lembata, sedangkan untuk menjaga pelaku perjalanan melalui jalan alternatif, maka tim gugus tugas kabupaten, kecamatan, dan desa menjaga setiap wilayah pesisir.
"Ini dilakukan agar setiap pelaku perjalanan harus melakukan pemeriksaan sesuai protokol kesehatan," katanya.
Semangat "Ta'an Tou' itu ditunjukkan oleh semua komponen masyarakat di Lembata, antara lain aparatur sipil negara, Polri, TNI, kejaksaan, pengadilan, dokter, paramedis, syahbandar, petugas bandara, KKP, lembaga swadaya masyarakat, partai politik, tokoh agama, pemuka masyarakat, ketua adat, dan semua organisasi sosial kemasyarakatan di Lembata.
Diharapkan, dengan semangat "Ta'an Tou" itu, Lembata tetap bebas dari kasus COVID-19.