Tradisi Semana Santa Nan Sakral

id Semana Santa

Tradisi Semana Santa Nan Sakral

Peziarah berjalan di belakang Patung Tuan Ma (Bunda Maria)saat prosesi Semana Santa mengantar Patuan Tuan Ma dan Patung Tuan Ana ke Katedral. (Foto Antara/Kornelis Kaha)

Walaupun hanya kota kecil, Larantuka memiliki tradisi religi sejak 500 tahun lalu, yakni prosesi Semana Santa saat Jumat Agung atau Sesta Vera
Kota Larantuka, Flores Timur, hanyalah sebuah kota kecil di antara daerah lainnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kota di bawah kaki Ile (Gunung) Mandiri itu, terlihat indah jika dilihat dari Pulau Adonara dan Pulau Solor.

Walaupun hanya kota kecil, Larantuka memiliki tradisi religi sejak 500 tahun lalu, yakni prosesi Semana Santa saat Jumat Agung atau Sesta Vera.

Sejak Minggu daun-daun (palma), sejumlah peziarah dari dalam dan luar negeri sudah berdatangan ke kota itu. Kota kecil yang dikenal dengan sebutan Reinha Rosari itu, tidak seperti biasanya karena terlihat ramai.

Bahkan, sejumlah penginapan di kota itu justru sudah penuh oleh para pengujung yang akan mengikuti prosesi Semana Santa itu.

Semana Santa adalah prosesi prapaskah yang didahului masa puasa atau pekan-pekan suci. Tradisi keagamaan itu warisan Portugis yang menyebarkan agama Katolik dan berdagang cendana di Kepulauan Nusa Tenggara.

Prosesi Jumat Agung merupakan puncak dari Semana Santa yang diawali dari perayaan Rabu Trewa yang tahun ini jatuh pada 12 April 2017. Sejak Rabu Trewa, jumlah pengunjung kota kecil itu telah mencapai 3.000-an orang, baik dari dalam maupun luar negeri.

Pada malam Rabu Trewa, sejumlah remaja di sekitar Kapela Tuan Ma (Bunda Maria) dan Kapela Tuan Ana (Tuhan Yesus) menyeret seng bekas yang kemudian menimbulkan keributan di sekitar kedua kapela tersebut.

Menurut Budayawan Flores Timur Bernard Tukan, Trewa dalam tradisi Gereja Katolik artinya bunyi-bunyian. Ritual keagamaan yang satu ini, sudah jarang dilakukan oleh gereja Katolik lainnya, kecuali di Keuskupan Larantuka, yang terbentang mulai dari Flores Timur daratan, Pulau Adonara, Solor, hingga Lembata.

Gereja Katolik setempat mengizinkan bunyi musik atau bunyi benda lainnya, seperti lonceng gereja hingga pukul 20.00 Wita. Selepas pukul 20.00 Wita menjelang perayaan Kamis Putih pada keesokan harinya, tidak lagi terdengar bunyi-bunyian tersebut. Larantuka larut dalam sepi mengenang kisah sengsara Yesus Kristus sampai wafat di kayu salib pada Jumat Agung (14/4).

Keesokan harinya, pada Kamis Putih, arca Tuan Ma (patung Bunda Maria) yang tersimpan di Kapela Maria Pante Kebis mulai dimandikan oleh lima suku besar di Larantuka. Saat dimandikan, tidak boleh ada yang melihatnya selain mereka yang memandikan patung tersebut.

Namun, setelah pemandian, para peziarah biasanya mengambil air mandi bekas pemandian Tuan Ma di sebuah bak penampungan lalu dipindahkan ke botol untuk dibawa pulang. Air bekas pemandian Tuan Ma itu diyakini memiliki khasiat.

Sebelum dilakukan tradisi mencium Tuan Ma, sesuai tradisi, keturunan raja Larantuka Diaz Vieira Godinho membuka pintu Kapela Tuan Ma yang terletak di bibir pantai Larantuka agar nantinya para peziarah bisa masuk dan berdoa.

Umat Katolik yang hadir pada saat itu diberi kesempatan untuk berdoa, bersujud mohon berkat dan rahmat. Kiranya permohonan itu dapat dikabulkan oleh Tuhan Yesus melalui perantaraan Bunda Maria (Per Mariam ad Jesum).

Setelah pintu kapela dibuka, umat setempat serta para peziarah Katolik dari berbagai penjuru NTT dan nusantara serta manca negara mulai melakukan kegiatan "cium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana" dalam suasana hening dan sakral.

Sebelum sore di hari Kamis Putih, peziarah berdoa dan bergantian melakukan penyembahan "Cium Tuan" di sejumlah situs rohani, di antaranya di Kapela Tuan Ma, Kapel Tuan Ana, dan Kapel Tuan Meninu (patung kanak Yesus) dan Patung Tuan Bediri (patung Yesus berdiri dengan ayam jantan di kanannya) ada di Desa Wureh, Pulau Adonara, sebagai wujud permohonan doa kepada Tuhan melalui perantara Bunda Maria.

Sejak Kamis pagi, ribuan peziarah sudah mulai berdatangan ke Kota Larantuka. Sebuah kapal feri KMP Sirung pun tiba di Larantuka membawa 1.500 peziarah dari Pulau Timor dan sekitarnya.

"Mereka yang tidak mendapatkan tempat untuk menginap terpaksa ditempatkan di rumah-rumah warga, biara, dan sekolah yang memang telah disiapkan oleh panitia Semana Santa," kata ketua Panitia Semana Santa Dion Fernandez.

Sampai dengan prosesi puncak Jumat Agung atau Sesta Vera, sudah terdaftar sekitar 5.500 peziarah baik dari luar NTT maupun lokal.

Prosesi Laskar Laut
Prosesi laut merupakan rangkaian upacara Semana Santa. Patung Yesus Yang Tersalib yang berada di Kapela Tuan Meninu (Kapela Bayi Yesus) diarak melalui laut menuju Kapela Tuan Ma di Pantai Kuce di depan kediaman Raja Larantuka.

Arak-arakan mengantar patung Yesus diikuti ratusan peziarah. Mereka menyewa kapal-kapal ikan yang telah diberikan tanda khusus agar bisa mengikuti prosesi tersebut.

Sepanjang pelayaran dari Kapela Tuan Meninu di Kota Rewido menuju Pantai Kuce, arak-arakan mengantar patung Yesus diiringi juga dengan doa-doa yang khusyuk.

Saat tiba di Pantai Kuce, patung Yesus yang tersalib diantar menuju Kapela Tuan Ma. Di Kapela itu dilakukan doa bersama selama 30 menit baru kemudian dilakukan perarakan Tuan Ma dan Tuan Ana menuju gereja katedral.

Semana Santa merupakan prosesi puncak Jumat Agung. Pusat perayaan diadakan di dua patung suci, yaitu patung Yesus Kristus yang oleh warga lokal dinamai Tuan Ana, dan patung Perawan Maria yang disebut warga lokal sebagai Tuan Ma.

Kedua patung tersebut dibawa oleh misionaris Portugis Gaspardo Esprito Santo dan Agostinhode Magdalena pada abad XVI. Kedua patung itu hanya ditampilkan kepada publik setiap Paskah.

Sejarah Larantuka sendiri, tidak lepas dari kedatangan bangsa Portugis dan Belanda, yang masing-masing membawa misi berbeda-beda pula.

Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah umat Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor, dan juga Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru.

Kala itu, konon, orang Portugis yang membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut ceritra legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.

Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.

Sekitar 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Ia menjadi tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.

Sakral
Malam mulai menghinggapi kota kecil Reinha Rosari tersebut. Keheningan malam pun mulai terlihat di kota tersebut. Ratusan umat di setiap sudut Kota Larantuka menggunakan pakaian serba hitam yang menandakan kesedihan mereka yang mendalam karena Yesus Kristus wafat disalib pada pukul 15.00.

Dari kejauhan samar-samar terdengar bunyi gendang yang ditabuh berulang-ulang di jalan utama kota kecil yang diyakini umat Katolik di Larantuka sebagai kota yang selalu dilindungi oleh Bunda Maria, Ibunda Yesus.

Sayup-sayup doa dan nuansa khusyuk terasa di sepanjang jalan kota tersebut. Lilin-lilin di sepanjang jalan mulai menyala. Di setiap rumah yang dilalui perarakan, dipajang patung Bunda Maria atau Yesus serta patung Keluarga Kudus dari Nazareth.

Paling depan dari perarakan tersebut, lima pria berperawakan besar menggenakan jubah serba hitam dan berlukiskan tangan-tangan oktopus atau gurita besar membawa lilin, menabuh gendang sebagai pembuka jalan bagi ribuan umat yang akan menyusuri jalan utama kota itu untuk berziarah.

Di sepanjang jalan ada delapan armida (perhentian) penting yang harus disinggahi oleh setiap peziarah. Perhentian pertama, yakni armida Amu Tuan Missericordia (Maha Rahim). Missericordia melukiskan kerinduan manusia menantikan janji penyelamatan Allah dalam diri Yesus Kristus.

Armida kedua adalah armida Tuan Meninu (Arca Bayi Yesus), merepresentasikan pemenuhan janji-janji Allah kepada umat manusia. Di perhentian ketiga, armida Amu Tuan Mesias (Anak Allah), menggambarkan hidup dan karya Yesus, sedangkan perhentian keempat, armida Amu Tuan Trewa (Tuhan Yang Terbelenggu), melukiskan tentang penderitaan Yesus Kristus demi keselamatan umat manusia.

Pada perhentian selanjutnya, adalah armida Amu Tuan (Yesus Yang Tersalib) di Pantai Kebis, kemudian armida Pohon Siri, yang menjadi tempat perenungan saat Yesus dijatuhi hukuman mati tanpa bersalah. Di armida ketujuh, yakni armida Kuce digambarkan wafat Yesus disalib demi menebus dosa manusia.

Di perhentian terakhir perarakan terdapat di armida Tuan Ana yang melukiskan diturunkannya Yesus dari salib dan dimakamkan. Dari sana, perarakan kembali ke katedral.

Di setiap armida suasana hening. Semua doa dan lagu dihentikan oleh kumandang ratapan Kristus yang memilukan "Ovos omnes est dolor sicut dolor meus" (Wahai kalian yang melintas di jalan ini adakah deritamu sehebat deritaku).

Lagu pilu ini dinyanyikan oleh seorang perempuan berkerudung biru, sembari secara perlahan-lahan membuka gulungan berlukiskan "ecce homo" atau wajah Yesus bermahkota duri yang berlumuran darah.

Momentum ini kembali mengingatkan peristiwa Veronika menyapu wajah Yesus ketika dalam perjalanan berdarah menuju bukit tengkorak (Golgota) yang kemudian disusul dengan lagu "sinyor deo missericordia" yang begitu agung oleh barisan Confreria.

Hingga saat ini, prosesi Semana Santa yang sakral tersebut tetap dipertahankan dan telah menjadi salah satu ikon wisata religi Kota Larantuka. Tradisi umat Katolik setempat itu telah dikenal dunia.