Legislator Minta Pemerintah Mediasi Sengketa Lahan Nasipanaf

id Tanah

Legislator Minta Pemerintah Mediasi Sengketa Lahan Nasipanaf

Anggota DPRD NTT dari PKPI Jefri Un Banunaek

"Persoalan sengketa lahan itu sampai hari ini belum ada titik terangnya sehingga membuat masyarakat Nasipanaf terus hidup dalam kecemasan dan saling curiga," kata Jefri Un Banunaek.
Kupang (Antara NTT) - Anggota DPRD Nusa Tenggara Timur Jefry Un Banunaek meminta pemerintahan Gubernur Frans Lebu Raya memediasi persoalan lahan di Nasipanaf seluas 543 hektare yang masih menjadi sengketa antara pemerintah Kota Kota/Kabupaten Kupang serta masyarakat-TNI AU.

"Persoalan sengketa lahan itu sampai hari ini belum ada titik terangnya sehingga membuat masyarakat Nasipanaf terus hidup dalam kecemasan dan saling curiga," kata anggota legislator dari PKPI itu di Kupang, Rabu.

Menurut dia, persoalan sengketa lahan yang terjadi sejak tahun 1970-an itu penting mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah dengan melakukan mediasi dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Sengketa lahan itu, katanya, belakangan mulai muncul ke permukaan setelah pihak TNI-AU berupaya memasang pilar secara sepihak dan memajang papan nama bertuliskan tanah milik TNI-AU di tengah pemukiman masyarakat Nasipanaf.

Upaya yang dilakukan TNI-AU itu kemudian mendapat protes keras dari masyarakat yang dari dulu hidup dan menetap di Nasipanaf.

Jefri mengatakan, atas persoalan itu maka fraksi gabungan beberapa waktu lalu telah mengkonfirmasi langsung ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Kupang dan Kabupaten Kupang sebagai pihak yang berwenang menerbitkan sertifikat tanah di Nasipanaf.

"Namun pihak BPN tidak tahu persis di mana batas tahan 543 hektare yang disebut milik TNI-AU itu," katanya.

Sementara itu, lanjutnya, di atas tanah itu, masyarakat selain secara fisik menguasai tanah terutama di segmen Nasipanaf juga telah mengantongi sertifikat hak milik sebagai bukti hukum yang diterbitkan BPN Kota Kupang dan BPN Kabupaten Kupang.

Fakta lainnya, lanjutnya, dari dulu ketika masyarakat Nasipanaf membangun rumah di atas tanah milikinya dalam areal 543 hektare tersebut, tidak dilarang oleh TNI-AU.

"Artinya TNI-AU dianggap menyetujui bahwa tanah tersebut adalah milik masyarakat karena berlaku asas hukum yang mengatakan Qui Tacet Concentire Videtur atau siapa yang diam dianggap menyetujui," katanya.

Ia menilai, upaya pemasangan pilar dan pemajangan papan nama dari TNI-AU itu merupakan okupasi sepihak dan bertentangan dengan undang-undang.

Jefri menjelaskan, Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa negara mengakui hak milik perorangan dan tidak dapat diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun termasuk pemrintah dengan dalil pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

"Untuk itu pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang didalilkan pihak TNI-AU tidak boleh sampai membenarkan adanya pelanggaran HAM atas hak milik perorangan atau badan hukum dengan perbuatan sewenang-wenang dan melanggar undang-undang," katanya.

Atas persoalan itu, Jefri mengatakan, fraksinya mendesak pemerintah untuk mengambil inisiatif memdiasi masyarakat Nasipanaf dengan TNI-AU untuk menyelesaikan sengketa tersebut.

"Pemerintah daerah tidak boleh menanggapi dengan sesuatu yang terkesan klise tapi harus mengambil tindakan cepat dan tepat untuk memediasi agar hubungan masyarakat dan aparat tetap akur untuk mendukung pembangunan ke depan," katanya.