Kupang tetap tertinggal di tepian nusantara

id Amfoang

Kupang tetap tertinggal di tepian nusantara

Sebuah truk terjebak dalam air sungai untuk menembus sampai ke Amfoang dari Kupang. (ANTARA Foto/Kornelis Kaha)

Sejak Indonesia Merdeka 1945, desa-desa yang terletak di wilayah Kecamatan Amfoang Timur, Barat, Utara dan Selatan, tampaknya belum semuanya menikmati aliran listrik dari PLN serta jalanan yang mulus seperti di daerah-daerah lain di Indonesia.
Kupang (AntaraNews NTT) - Secara geografis, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur berada di antara kepungan kemajuan pembangunan Kota Kupang, serta berbatasan langsung dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan dan wilayah kantung (enclave) Timor Leste, Oecusse di bagian utaranya.

Sejak 1958, Kota Kupang masih merupakan bagian dari wilayah pemerintahan Kabupaten Kupang, meski masih berstatus sebagai kota administratif.

Namun, ketika disahkan menjadi Kota Madya pada 25 April 1996 oleh Mendagri (saat itu) Yogie S Memet, pemerintahan Kabupaten Kupang pun harus keluar dari wilayah pemerintahan kota.

Pemerintah pun memilih Oelamasi yang terletak sekitar 38 km timur dari Kota Kupang sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan Kabupaten Kupang sejak 22 Oktober 2010.

Sebagai salah satu daerah otonom di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang memiliki luas wilayah administrasi pemerintahan sekitar 5.431,23 km2 itu, ternyata sebagian besar kehidupan masyarakatnya masih terlilit kemiskinan dan menghuni desa-desa tertinggal dan sangat tertinggal di tepian nusantara.

Sebagai salah salah beranda terdepan Indonesia bagi wilayah kantung Oecusse, Kabupaten Kupang seharusnya mendapat prioritas pembangunan dari pemerintah pusat agar bisa bersolek dengan penuh keindahan sebagai beranda terhormat di tepian nusantara.

Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Kupang Johanis Masneno, ada sekitar 90 dari 160 desa di wilayah Kabupaten Kupang masuk dalam kategori desa tertinggal dan sangat tertinggal, sehingga priortas dana desa tahun 2018 diarahkan untuk membangun desa-desa yang masih tertinggal itu.

Dalam tahun anggaran 2018, pemerintah pusat mengalokasikan dana desa untuk Kabupaten Kupang sebesar Rp135 miliar, atau naik sekitar Rp7 miliar dari tahun 2017 yang hanya mencapai Rp128 miliar.

Namun, upaya untuk membangun dan menata kembali desa-desa yang tertinggal dan sangat tertinggal menuju ke tingkat peradaban ekonomi rakyat yang lebih matang dan maju, tidaklah semudah seperti orang membalikkan telapak tangan.

Rasanya cukup logis jika 90 desa atau sekitar 70 persen desa di Kabupaten Kupang masih tergolong tertinggal dan sangat tertinggal. Misalnya, untuk mencapai wilayah Kecamatan Amfoang yang berbatasan dengan Oecusse saja, harus naik turun gunung dengan melintasi lebih dari 100 anak sungai yang membentang luas di daratan Pulau Timor.

Sejak Indonesia Merdeka 1945, desa-desa yang terletak di wilayah Kecamatan Amfoang Timur, Barat, Utara dan Selatan, tampaknya belum semuanya menikmati aliran listrik dari PLN serta jalanan yang mulus seperti di daerah-daerah lain di Indonesia.

Jika musim hujan tiba maka wilayah Amfoang dan sekitarnya, terisolasi total dari berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tak ada satu pun kendaraan roda enam dan empat yang berani melintas di medan jalan maha berat tersebut. Kendaraan doble gardan sekali pun, tak gampang untuk melaluinya pula.

Maka tidak mengherankan jika sebagian besar desa-desa di Kabupaten Kupang masih dikategorikan tertinggal dan sangat tertinggal. "Kondisi jalan, tampaknya menjadi salah satu penyebab masih tingginya penduduk miskin di desa-desa tertinggal dan sangat tertinggal itu," ujar Masneo.

Apabila infrastruktur jalan sudah bisa dibangun, Masneno optimistis solasi wilayah akan segera teratasi, dan masyarakat pun dapat memasarkan hasil pertaniannya ke kota dengan baik.

Sejak awal pembentukan Kabupaten Kupang sampai saat ini, wilayah Amfoang dan sekitarnya masih tetap saja terpencil dan terkebelakang, karena tidak ada satu pun pemerintahan yang berani membuka dan membangun sarana dan prasarana jalan dari Kupang menuju Amfoang yang berbatasan dengan wilayah kantung Oecusse itu.

Lewat alokasi dana desa sebesar Rp135 miliar itu, diharapkan dapat mendukung program pembangunan infrastruktur desa maupun ekonomi masyarakat desa tertinggal dan sangat tertinggal di wilayah Kabupaten Kupang menuju ke arah yang lebih sejahtera.

Selama hampir 10 tahun memimpin Kabupaten Kupang, Bupati Kupang Ayub Titu Eki sudah banyak berbuat untuk mengangkat derajat masyarakatnya dari ketertinggalan dan keterpurukan ekonomi melalui pembangunan jalan lingkar utara yang menghubungkan sejumlah desa di wilayah Takari menuju Amfoang.

Pembangunan jalan itu pun tak semulus yang diharapkan Bupati Ayub, karena sumber dananya berasal dari APBN. Pembangunan jalan tersebut untuk sementara masih terhenti karena belum ada alokasi dana dari APBN untuk melanjutkan pembangunan fasilitas jalan tersebut sampai ke perbatasan Timor Leste di Oecusse.

Amfoang minta pisah
Sampai kapan pun, Amfoang tampaknya masih tetap terpencil dan terkebelakang jika masih tetap melekat menjadi bagian dari Kabupaten Kupang. Sebab, untuk membuka isolasi wilayah tersebut, membutuhkan anggaran yang tidak sedikit jumlahnya untuk memoles dan membedak wajah Amfoang agar bisa bersolek menjadi serambi depan Indonesia di mata Timor Leste.

Sekitar Februari 2015, ratusan warga dari enam kecamatan di wilayah Amfoang mendatangi DPRD NTT dan menyerahkan sejumlah syarat dukungan untuk diproses menjadi daerah otonom baru. Rombongan warga yang datang ke DPRD NTT dibawa pimpinan Raja Amfoang Roby Mano itu meminta untuk berpisah dari Kabupaten Kupang.

Sebab, jalan yang menghubungkan ibu kota Kabupaten Kupang di Oelamasi dengan Amfoang di bagian utara, mencapai sekitar 150 kilometer. Jika musim hujan tiba, seluruh aktivitas masyarakat terhenti total, karena tidak adanya transportasi darat yang melintas di tengah rusaknya badan jalan dan jembatan penghubung antara kedua wilayah tersebut.

"Kami minta agar aspirasi kami dapat diperjuangkan oleh para wakil rakyat di DPRD NTT agar Amfoang dimekarkan menjadi daerah otonom sendiri berpisah dari Kabupaten Kupang agar pembangunan wilayah dan kemasyarakat lebih terfokus," kata Luther Sol`uf, Ketua Panitia Pemekaran Amfoang pada saat itu.

Amfoang dengan luas wilayah mencapai sekitar 1.679.48 Km2 dengan jumlah penduduk sekitar 52.000 jiwa itu, dinilai sudah layak dimekarkan menjadi sebuah daerah otonom baru, yang meliputi wilayah Kecamatan Amfoang Timur, Amfoang Utara, Amfoang Selatan, Amfoang Barat Laut, Amfoang Barat Daya, dan Amfoang Tengah.

"Pemekaran adalah kebijakan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat agar kelancaran pembangunan di segala sektor kehidupan masyarakat dapat tercapai," kata Luther.

Perpisahan mungkin merupakan sebuah opsi terbaik bagi masyarakat Amfoang, karena jika tetap melekat menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Kupang, maka kawasan yang berbatasan langsung dengan Oecusse itu tetap tak berkembang, dan tetap terus terkebelakang dan tertinggal di tepian Nusantara.

Namun, aspirasi masyarakat Amfoang tersebut masih berbenturan dengan moratorium pembentukan daerah otonom baru, sebab pencipataan daerah otonom baru dalam mata hati pemerintah bukanlah untuk mendekatkan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat, melainkan hanya menciptakan kelompok kaya baru bagi elite politik yang berkuasa.