Labuan Bajo (ANTARA) - Pemerintah Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, mengintensifkan pengawasan ternak babi dari luar wilayah tersebut menyikapi adanya empat ekor babi yang diduga terkena African Swine Fever (ASF).
"Kami dapat info ada ternak babi yang dibawa dari Ende, tapi itu terjadi saat kita belum keluarkan edaran pelarangan ternak. Empat ekor mati di Kelurahan Mauponggo," kata Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Nagekeo Klementina Dawo ketika dihubungi dari Labuan Bajo, Kamis, (2/2/2023).
Dia menjelaskan empat ekor babi itu sebelumnya dititipkan oleh pemilik babi yang berasal dari Kabupaten Ende. Dari informasi yang diperoleh tim di lapangan, babi tersebut adalah babi bantuan dari Balai Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Denpasar.
"Mereka yang pengadaan. Adiknya pengadaan babi dari Kupang, lalu lihat babi lemas, dibawa-lah ke Mauponggo, dititip, diistirahatkan di kakaknya di sana. Lalu, babi-nya mati," kata Klementina.
Menyikapi kasus itu, tim lapangan dinas setempat sudah turun ke lokasi sejak hari Sabtu untuk melakukan pembersihan kandang, disinfeksi, dan edukasi kepada peternak di sekitar lokasi.
Selain itu upaya pengawasan terhadap lalu lintas ternak juga lebih diperketat karena sudah ada kasus kematian babi yang diduga ASF tersebut. Para petugas yang disiagakan pada daerah-daerah perbatasan harus menahan dan tidak memperbolehkan ternak-ternak tersebut untuk masuk ke wilayah Kabupaten Nagekeo, khususnya pada hari pasar.
Bagi para peternak, Klementina mengimbau untuk tetap waspada dan melakukan aktivitas seperti biasa sembari meningkatkan biosekuriti kandang. Dia meminta peternak dan penjaga kadang untuk meningkatkan kekebalan ternak babi dengan cara pembelian pakan yang baik dan pemberian vitamin.
"Kami larang memberikan makanan hasil limbah dari olahan babi ke ternak babi," ujar Klementina.
Dia pun berharap masyarakat dapat mewaspadai penyakit ASF dengan mengetahui tanda klinis ternak yakni demam tinggi, depresi, tidak mau makan, pendarahan pada kulit (kemerahan pada telinga, perut, dan kaki), keguguran pada induk bunting, kebiruan pada kulit, muntah, diare, serta kematian dalam waktu 6-13 hari.
"Tingkat kematian bentuk ini dapat mencapai 100 persen," katanya mengingatkan.
Baca juga: Disnak NTT catat babi mati mendadak jadi 256 ekor
Baca juga: Karantina Pertanian Ende perkuat pengawasan cegah penyakit hewan