Kupang (Antara NTT) - Pakar komunikasi sosial dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Prof Dr Alo Liliweri MS menilai semangat membangun sikap toleransi belum merata antara masyarakat suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di Indonesia.
"Masyarakat di Nusa Tenggara Timur boleh memberlakukan sikap toleransi yang luar biasa antarSARA, namun di tempat yang lain sikap toleransi masih tampak terkotak-kotak bahkan diabaikan," katanya saat dihubungi Antara di Kupang, Jumat.
Dosen Pasca Sarjana Undana itu mengatakan, intoleransi dan radikalisme merupakan masalah kebangsaan yang harus kita kerjakan rame-rame mulai dari pemerintah tingkat nasional sampai tingkat terbawa.
"Seluruh masyarakat Indonesia harus bersama-sama tanpa henti melawan situasi ini," katanya.
Lulusan gelar doktor di Universitas Padjajaran Bandung tahun 1994 silam itu menjelaskan, semua teori tentang masyarakat multikultur telah menulis peringatan bahwa masyarakat multikultur mempunyai kecenderungan yang sangat kuat bagi kelompok-kelompok SARA yang melakukan tindakan sekecil apapun hingga sekeras apapun.
Kondisi itu, menurutnya, tidak bisa dilawan dengan sebatas mengimbau bahwa perbedaan itu indah.
"Indahnya perbedaan yang seperti apa? Indah di mana? Pertanyaan itu yang menjadi tanggungjawab bersama semua elemen masyarakat yang harus diwujudnyatakan dalam perilaku hidup sehari-hari," katanya.
Prof Alo melihat kondisi intoleransi dan radikalisme dalam sejumlah pendekatan teoritik seperti, teori primordialisme yang mendengungkan semacam kebencian kuno, atau sejarah permusuhan antarSARA di masa lalu dan dibangkitkan sekarang pada saat yang tepat.
"Misalnya di NTT didengungkan dikotomi Katolik dan Protestan, Flores dan bukan Flores, Jawa-luar Jawa, dan lainnya," katanya.
Ia mengatakan, ada juga teori elit kekuasaan yang mengatakan bahwa elit telah menjadikan bentukan antarSARA sebagai proyek untuk mencapai kekuasaan dengan mendorong bentrokan antarkelompok SARA.
Dalam kondisi ini, lanjutnya, jika terjadi chaos nasional maka akan lebih mudah militer mengambil alih kekuasaan.
Selain itu, ada teori simbolis etnis, di mana para elit pemerintahan dan politik memanipulasi simbol-simbol SARA, seperti ayat kitab suci agama, lambang-lambang suku bangsa atau agama yang seolah-olah dirusak oleh pihak lain.
Menurutnya, berbagai isu SARA berisi pesan-pesan kebencian yang bersifat provokatif semakin marak dimainkan dewasa ini, di tengah perkembangan teknologi informasi yang pesat dengan hadirnya internet atau media sosial.
Ia menilai, sudah ada perhatian serius negara dalam menyikapi fenomena komunikasi melalui media sosial itu menghadirkan UU Transaksi Eketronik (UTE).
Selain itu, ada pula Peraturan Kepala Kepolisian RI tentang Hate Speech serta langka Kementerian Komunikasi dan Informasi telah berhasil memblokir website dan blog yang diduga menyampaikan informasi bohong atau hoax.
"Namun terlepas dari upaya penanganan lewat payung hukum itu, kuncinya ada dalam masyarakat mjltikultural sendiri yang seharuanya menadikan media sosial sebagai media informasi positif antarSARA," demikian Alo Liliweri.
Semangat Membangun Toleransi Belum Merata
"Masyarakat di NTT boleh memberlakukan sikap toleransi yang luar biasa antarSARA, namun di tempat yang lain sikap toleransi masih tampak terkotak-kotak bahkan diabaikan," kata Alo Liliweri.