Kupang (Antara NTT) - Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Nusa Tenggara Timur Melkianus Adoe mengatakan, data Badan Pusat Statistik menyebutkan mayoritas penduduk NTT berprofesi petani 3.042.780 orang atau mencapai 64,74 persen dari total 4,7 juta penduduk di daerah ini.
"Ini menggambarkan sebagian besar penduduk di daerah kepulauan ini bermata pencaharian sebagai petani, sehingga produk pertanian khususnya tanaman pangan merupakan salah satu andalan utama bagi peningkatan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani, perlu mendapat perhatian, seiring dengan tekad untuk menjadikan daerah ini sebagai Provinsi Jagung," katanya di Kupang, Minggu.
Ia mengatakan hal ini, menanggapi hasil proyeksi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia yang menyebutkan, jumlah petani Indonesia dari waktu ke waktu terus menurun yakni pada 2011 turun 2,16 juta orang atau 5,2 persen menjadi 39,33 juta orang dibanding dengan tahun sebelumnya 41,49 juta orang.
Jumlah ini tidak berbanding lurus dengan jumlah petani gurem yang justru cenderung meningkat yaitu dalam 10 tahun terakhir misalnya, petani gurem meningkat dari 10,8 juta menjadi 13,7 juta orang yang hanya mengolah tanah garapannya di bawah 0,5 hektar," kata pengurus DPP HKTI pusat, Fary Dj Francis, di Kupang, Minggu.
Sementara itu, demikian Fary, berdasar hasil proyeksi Serikat Petani Indonesia (SPI) 2008, petani gurem mencapai 15,6 juta jiwa.
Dalam konteks lokal di NTT, menurunnya jumlah penduduk yang berprofesi sebagai petani juga terjadi bahkan sangat terasa, beriringan dengan perkembangan teknologi dan zaman yang semakin membuat penduduk lebih berpaling ke kota, ketimbang ke desa.
"Memang harus diakui, berprofesi sebagai petani sepertinya tidak lagi menjadi pilihan menarik bagi masyarakat Indonesia, termasuk di NTT," kata mantan Ketua DPRD NTT periode 2004-2009 dari Partai Golkar itu.
Anggapan ini katanya, semakin diperkuat dengan data yang disebutkan pemerintah, dimana setiap tahunnya terjadi penurunan jumlah petani di Indonesia.
"Bayangkan untuk 2011 saja, jumlah petani menurun sekitar dua jutaan orang dibanding 2010," katanya.
Dan Provinsi Nusa Tenggara Timur, termasuk salah satu daerah yang mengkhawatirkan terjadinya penurunan jumlah petani, karena kemajuan teknologi dan zaman yang kian pesat.
Keengganan pemuda NTT untuk memilih pekerjaan bertani dianggap sebagai pemicu krisis dan gangguan kamtibmas karena lebih banyak terjadi urbanisasi sehingga kota semakin padat, dan sulit terhindar dari berbagai kejadian dan kasus kriminal lainnya.
Kementerian Pertanian telah mencari jalan untuk menekan penurunan jumlah petani ini agar tidak terlalu drastis.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menyebutkan, pemerintah tengah menjalin kerjasama dengan sejumlah lembaga pendidikan, seperti Perguruan Tinggi.
"Tahun-tahun ini kita melakukan pendekatan lagi dengan perguruan tinggi, seperti IPB. Maksudnya agar lebih membumilah kurikulumnya. Karena lebih banyak lulusan IPB yang bekerja di luar pertanian ya. Ini cukup merisaukan, karen akhirnya yang tinggal di lapangan pertanian itu, ya mereka-mereka yang sudah turun menurun seperti itu," katanya.
Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan menambahkan, penurunan jumlah petani merupakan satu hal yang sangat dilematis. Disatu sisi jika petani berkurang berarti sudah ada peningkatan lapangan kerja lain.
Namun, Kementerian Pertanian pun belum memiliki data kemana perginya para petani tersebut.